Variabel dua; putus asa

93 32 20
                                    

Pada perahu mungil yang tak beratap, di bawah gulungan mendung yang enggan meleleh, dan di atas permukaan air Selat Bali

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pada perahu mungil yang tak beratap, di bawah gulungan mendung yang enggan meleleh, dan di atas permukaan air Selat Bali. Tangisan tuan kecil terlampau menderu.

Sambil sesekali memandangi deretan bukit Kota Bali yang jauh terbentang di sana, rasanya ingin merantau saja; lari dari tekanan yang menimpa. Berbekal dayung dan raga nantinya, imajinasi Akasy terbang ke cakrawala.

Seketika perahu mungil itu bergoyang karena kedatangan tamu dengan surai berwarna karamel.

"Ngapain Kakak ke sini?" tanyanya tak suka.

Dara tersenyum. "Akasy capek?"

Sejenak tuan kecil menunduk belaka sambil memulas sendu pada rautnya. Bidikan mata Dara tertembak pada bercak lumpur yang menumpang di ujung celana Akasya-akibat memberontak paksaan dari sang ayah tadi.








"Aku pernah masuk rumah sakit karena terlalu banyak mikirin ujian akhir," sahut laki-laki itu dengan isak, "terus-terusan belajar. Selalu dituntut ayah untuk dapat prestasi, yang selalu dihina kalau hasilnya jelek, dan ujungnya dibanding-bandingkan dengan Kak Dijaya yang selalu dapat paralel kelas."

Hujan bukannya berasal dari mendung yang sedari tadi menghias langit, melainkan bercucur dari mata Akasya yang sembab dan penuh luapan emosi.

"Nggak ada kebebasan yang aku inginkan," sambungnya. Nyatanya ketika tungkai tuan kecil menjarah pelabuhan, secuil kebebasan itu hadir. Menyendiri di gudang sudut pelabuhan sambil mencipta karya agung buatannya.

Sang ayah terlalu buta mengenai bakat yang masih terpendam; bahwa Akasy seorang pelukis yang lihai bermain jemari di atas kanvas.

Dara menggapai bingkai lukisan yang mengemas beberapa gubahan kreasi tuan kecil. Dilihatnya lukisan pertama yang memoles kepala singa. Terlihat mengaung dengan galaknya; si singa meraung berisik. Gigi taringnya runcing terlukis garang.

Sama dengan seorang Akasy yang menggema vokalnya hanya sebatas polesan cat minyak di atas lembaran putih; kanvas. Amat banyak balada yang menjadi aparatus utama dalam raga dan sukma, sehingga tuan kecil memahat duka-duka penimbun luka.

Bablas terpaut lama sampai manik mata Dara bergantian menatap lukisan dan raut Akasy secara bergantian. Beralih pada lukisan lainnya dengan lumuran penuh estetika, hingga pada adikarya awan hitam bahkan pekat dengan hujannya.

Tak ada yang berwarna. Kuas-kuas tuan kecil hanya diwarnai oleh hitam, putih, dan abu. Kelam; persis kehidupannya.

Perempuan berambut karamel itu tertegun belaka. Ternyata; bakat Akasy memang nyata adanya. "Nggak apa-apa kalau nilai kamu kurang memuaskan," katanya kemudian, "orang yang sukses di kemudian hari bukan mereka yang pintar dalam hal akademik saja."

"Hm?" Ia menoleh, beriringan dengan rambut cokelat tua klasiknya tersibak angin laut.

"Kamu masih muda, masih banyak hal yang bisa dilakukan. Buktinya, kamu bisa melukis."

Bisa jadi seniman nantinya; seniman yang diutus semesta 'tuk memoles cakrabuana lewat ujung bulu kuas. Kelak jemari tuan kecil menjelma balerina yang berdansa di atas kain putih, lalu fantasinya terlampau membumbung ke galaksi sampai terbuai imajinasi sendiri.

Akasy melengos. "Sia-sia, nggak ada yang mendukung aku."

"Kalau gitu ..., kamu bisa jadi satu-satunya orang yang mendukung diri sendiri," jawab Dara sembari menampilkan senyum, "lagian Kakak mendukung kamu, kok."

"Ck! Bohong."

"Apa buktinya kalau Kakak bohong, hm?"

Akasy melirik. "Nggak tau!"

Perempuan itu terkekeh sekaligus menutup bincang-bincang di bawah langit muram siang ini.


Panorama ombak yang membentur breakwater tak lagi menjadi pengindahan bola mata mereka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Panorama ombak yang membentur breakwater tak lagi menjadi pengindahan bola mata mereka. Kedua pasang kaki-kaki pemuda itu berjalan keluar pelabuhan, sambil dibimbing gesekan suara oleh kerikil yang menghias bumi Ketapang.

"Em ..., kalau biasanya, kamu suka melamun di perahu kayak tadi?" tanya Dara yang kritis jawaban, "kalau tiba-tiba perahunya goyang-goyang terus kebalik, gimana?"

Akasy tersenyum palsu. "Bukan di Samudera Hindia, masih aman."

Dijenguk dari kejauhan oleh sosok lainnya, bahwa Dara terlihat aura cerianya. Laki-laki ini; Dijaya. Ia mendekat, lebih dominan sambil mengatur napas. "Dik Akasy," panggilnya kepada Akasy-yang sebenarnya juga ingin menyapa sosok perempuan yang berdampingan dengan adiknya.

"Ck! Kak Dijaya kenapa kembali ke Indo, sih?! Harusnya di luar negeri aja. Seenggaknya lebih baik, meskipun yang jadi anak ayah tetap Kakak, bukan aku."

Cecar demi cecar Dijaya telan dengan sabar.

Tuan kecil memilih 'tuk menjemput singgah, sedang dua insan yang tersisa terbelenggu oleh badai masa lalu, serta dijadikan budak oleh baginda rindu.

Dijaya buka suara. "Apa kabar? Tadi kamu belum jawab pertanyaan aku."



satu katabuat Dijaya:)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

satu kata
buat Dijaya
:)

©sohvimaisi

Teori Tangis [Lee Haechan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang