Pelaku Sejarah

175 40 21
                                    

"Akasy," ungkap si tuan kecil setelah beribu detik membungkam mulutnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Akasy," ungkap si tuan kecil setelah beribu detik membungkam mulutnya.

Duduk di atas jembatan kayu sambil bergelantungan kaki ke permukaan laut. Menjurus lurus ke depan arah pandang mereka; menuju taburan warna jingga yang semakin tua.

Atmosfer sore semakin lelah, sama halnya dengan si tuan kecil yang terlihat pasrah. Akasy ibarat narapidana yang tertangkap perempuan itu sampai-sampai tak sudi menatap pesona dari Dara di sampingnya.

"Oh, jadi namamu Akasy." Dara terpanggil senyumnya meskipun tak mendapat imbalan yang serupa.

Semesta sore kian menjamu lokacipta Tuhan yang terlukis elok bahkan sempurna. Remah-remah cahaya semakin redup, hingga hampir saatnya kuntum petang mengemis ingin berperan dalam gulita malam.

Terselidik penat dari raut Akasy yang datar tanpa lengkung indah itu. Manik mata Dara lebih dalam menjelajah dari apa yang bersembunyi di dalam raga tuan kecil. Porsi duka lebih mendominasi, ketimbang porsi bahagia yang menghapus hormon dopamin sampai enggan membuncah meriah.

















Akasy tidak baik-baik saja.


















"Aku benci sama psikolog. Kakak nggak perlu peduli."

Dara lekas beralih tatap membidik bulu mata tuan kecil yang melengkung tebal, setelah sebelumnya menjebak jari kelingking laki-laki itu yang dibalut plester warna cokelat. Sekilas meneguk air liurnya, Akasy lantas menunduk; memandang gelombang di bawah yang mengajak air laut berdansa ke sana kemari.

"Jangan terlalu menyendiri, nanti kasihan hatinya. Ya?" titah Dara yang berhasil membujuk tuan kecil untuk menoleh.

Sejenak terperangkap seutas tatapan dalam-dalam. Akasy berdecak, "Ck! Sok tau."

Seragam OSIS tuan kecil terpoles debu dermaga—sejak dua hari yang lalu. Pun dengan sepatu nike putih yang sekilas tak seputih dulu lagi. Tertulis bordiran namanya; Akasya Prabu. Siswa kelas sebelas SMA yang tak peduli dengan absen kehadiran. Terpantau depresi, banyak stagnasi.

Dara mengeluarkan vokalnya, "Em ..., udah berapa hari nggak pulang?"

"Oh, jadi klinik yang baru pindah itu punya Kakak? Kenapa harus dekat pelabuhan, sih?! Sekalian aja di area jembatan Suramadu, jauh dari sini," gumam tuan kecil kesal, "biar aku nggak diseret-seret ke psikolog sama ayah." Akhirnya melengos ke kaki langit yang tak dihiasi mentari tua lagi.

"Loh? Pak Jokowi aja nggak ngelarang kalau Kakak pindah ke Surabaya." Dara tertawa kecil.

"Mending Kakak pergi dari sini."

Terdengar sadis. Sejujurnya Akasy merasa risih jikalau ditanya perihal hati.

Perempuan di sana merasa semakin terpatri lubuknya; pada tuan kecil bernama Akasya. "Memangnya ada apa di pelabuhan sampai-sampai kamu milih buat bermalam di sini, hm?"

"Nyaman."

"Mengenai?"

"Semuanya." Tuan kecil itu berkedip sambil memainkan jemari. "Kapal layar, dermaga, laut, matahari, ombak, angin, dan ketenangan."

"Ada yang lain?" Dara memancing bincang-bincang.

"Melukis."

"Alasannya?"

Tuan kecil menengok perempuan itu hingga dijebaknya senyum simpul dari Dara. "Kepo banget."

Akasy beranjak pergi; lantas alas sepatunya bergesekan dengan jembatan kayu itu.

Duk!
Duk!
Duk!
Duk!

Langkah demi langkah Akasy semakin menjauh, menyusuri jembatan kayu menuju daratan. Dara berangkat dari sana, kemudian setengah berlari mengikuti lakon yang kabur dari hadapannya.

Petang semakin lekat. Lampu-lampu pelabuhan mulai menyala. Terpandang silau kuning dari arah mana saja. Suasana pelabuhan menyalang bumi malam.

"Akasy ikut sama Kakak, ya?" pinta Dara seusai berdampingan dengan sosok yang dituju.

Dua insan di sana lekas menjadi pelaku sejarah pada cerita lara berlatar di pelabuhan Ketapang, Surabaya.

kalok adatypo tolongdiingetin :(

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

kalok ada
typo tolong
diingetin :(

©sohvimaisi.

Teori Tangis [Lee Haechan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang