Monophobia

122 37 23
                                    


;

Begitu buram mengenai dalih si tuan kecil terbujuk untuk ikut bersua di klinik sang empu. Bahkan tak ada desakan semacam menulis petisi resmi teruntuk suara hati Akasya Prabu.

Dara bersibuk diri dengan perabot dapur. Berbekal satu kilo ikan nila yang dibeli di pasar dekat pelabuhan, Dara menjelma pramusaji teruntuk tuan kecil. Semerbak aroma sedap kian bertamu pada hidung mancungnya. Lagi-lagi ia bergumam menyanjung masakannya sendiri bersamaan dengan api kompor yang masih menyala.

"Udah selesai bersih-bersihnya?" tanya Dara berkedok basa-basi, seusai laki-laki perjaka yang dimaksud menjamah lantai tempat meja makan berdiri.

"Nah, gitu 'kan jadi tambah ganteng," timpalnya.

Akasy sekadar berdiri mematung; sembari memandang pramusaji muda itu menata dua piring berisi nasi. Belum juga melahap hidangan, tuan kecil sudah kenyang dengan omongan itu-perihal pemuji ketampanannya.

"Udah siap, tinggal makan."

Kaus putih yang membalut raga Akasy mendukung pesona parasnya. Sehabis mandi, tuan kecil dijamu celana putih pula dari pemilik klinik.

Sedari tadi Dara penuh ceruk manis di pipinya, sedang sosok di hadapannya masih sama; masih datar-datar saja.

Satu lahap.
Dua lahap.

Sampai pada akhirnya tuan kecil buka suara, "Enak!" Bola matanya membulat terheran-heran. "Kenapa nggak buka resto sekalian?"

Dara semakin jelas meluncurkan tawa. "Kenapa tiba-tiba?"

"Daripada buka klinik, tapi sepi."

Ingin rasanya perempuan muda itu mengacak rambut cokelat klasik milik Akasy yang masih basah dan belum sempat disisir sang tuan. Binar dari manik mata laki-laki itu seolah menyuarakan bahwa perutnya telah terisi nasi dengan gembira. Dara terus tersenyum meskipun mulutnya penuh dengan makanan.

"Kakak baru pindah, jadi masih sepi. Lagian udah ada satu sampai dua pasien yang ada jadwal buat konsultasi," sahut Dara sekaligus memelankan kunyahan. "Termasuk kamu."

Deg!

Akasy melempar pandang kepada dinding yang dilapisi wallpaper vinyl cokelat kayu.

"Nanti kamu tidur di kamar klinik, ya?" bujuk Dara setelah meneguk air mineral.


•••

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sabit berkolaborasi dengan pernik gulita

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sabit berkolaborasi dengan pernik gulita. Sedang ranting-ranting meruntai gemulai bersama gandengan daunnya, akibat angin malam yang berpesta dalam ranah semesta.

Titik-titik bintang tersohor menampakkan kilap berharga dalam radius yang hanya bisa ditangkap mata. Secara mutlak bumi malam dikuasai rembulan bersama kawannya.

Embun-embun yang menumpang pada helai daun tampaknya jelas kentara mengolok tuan kecil yang menyendiri di sana-di balkon lantai dua. Ia merumpi dengan hampa.

Dunia dengan langitnya tertata rapi dalam naungan Tuhan, tapi tak seapik nuansa lubuk Akasya Prabu. Nyatanya remuk nan berserakan.

"Kasihan mata kamu kalau terus melamun." Beranjak mendekat perempuan yang digerai rambutnya itu; menyejajarkan diri dengan tuan kecil yang menyenderkan raga pada pagar balkon.

Akasy menoleh sejenak, lekas tak acuh. Rantai pandangnya tertuju pada arena pelabuhan yang terjangkau netra.

"Kamu suka melukis?" tanya Dara.

"Ya."

Angin malam menyapu rata epidermis dua manusia di sana. Sempat bergidik, Dara mengusap lengan tanda mengusir sisa dingin yang lekat.

"Buat apa Kakak di sini? Masuk aja, aku nggak butuh teman."

Dara merapatkan bibir sejenak. "Kamu nggak butuh, tapi Kakak butuh," sahutnya, "Akasy mau 'kan jadi teman Kakak?"

"Ck!" Malah decak lirih itu jadi jawaban.

"Mau satu cerita?"

Sekadar diam.

"Kamu tau? Kakak punya monophobia, setiap lagi sendiri harus ditemani sesuatu. Entah itu musik, buku, ataupun film. Repot, 'kan?" Dara tersenyum miring. "Kakak juga iri sama kamu, yang nyaman dengan kesendirian."

Akasy dengan teguhnya mengikat pandang. "Kak ... Dara?"

Mendadak antusias, Dara tertegun sebentar sebagai imbas panggilan hangat itu. "Iya?"

"Aku heran sama Kakak, yang bisa langsung terbuka sama orang lain bahkan itu masih orang asing," sahut tuan kecil.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


tau 'kan caranya
menghargai penulis?
terimakasi♡

©sohvimaisi

Teori Tangis [Lee Haechan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang