Ch 02

551 73 1
                                    







Setibanya di rumah sakit, dokter serta perawat segera memeriksa Haruto. Waktu yang dibutuhkan cukup lama dan Jeongwoo terus mondar-mandir menunggu di depan ruangan sembari menggigiti ujung jemarinya.

"Dengan wali pasien Haruto?"

"Saya, dok," ujar Jeongwoo segera mendekat ke arah dokter tersebut.

"Pasien tidak mengalami cedera serius, tapi masih memerlukan waktu untuk siuman karena shock setelah terserempet mobil tadi. Beruntung pasien mendapat pertolongan tepat waktu karena janin yang ada di dalam kandungannya sempat melemah,"

"J-janin?" Jeongwoo tergugup.

"Ya, pasien Haruto tengah mengandung empat minggu. Usia kandungannya masih rentan sehingga pasien tidak boleh terlalu stress ataupun kelelahan. Setelah ini pasien akan dipindahkan ke ruang rawat. Tolong jaga baik-baik pasien. Saya permisi," ucap dokter tersebut sebelum berlalu meninggalkan Jeongwoo yang masih berdiri termenung.

Haruto mengandung. Haruto mengandung anaknya. Tentu saja. Jeongwoo sangat tahu Haruto bukanlah sosok murahan yang berhubungan dengan siapa saja. Haruto bahkan selalu menuruti keposesifan Jeongwoo yang membatasi lingkup pergaulannya. Perasaan bersalah semakin menyelimuti Jeongwoo.

















---





















"Ru?" Jeongwoo kini duduk di samping ranjang rawat Haruto. Haruto menatap ke arah lain, enggan menatap Jeongwoo. Dirinya mengingat kejadian yang tadi dilihatnya. Hatinya terasa sangat sakit, kali ini lebih sakit daripada dirinya yang tidak direstui kedua orang tua Jeongwoo.

"Kenapa nggak bilang kalau kamu hamil?"

Haruto tersenyum miring menahan air matanya. Ia tidak ingin menunjukkan dirinya lemah di hadapan Jeongwoo.

"Buat apa? Toh kamu juga nggak akan peduli," Haruto masih mempertahankan pandangannya ke arah selain Jeongwoo.

"Jangan bicara sembarangan, Haruto!" Jeongwoo menaikkan nada bicaranya.

"Kalau aku bilang kamu bakal ngelakuin apa?" Pertanyaan dari Haruto membuat Jeongwoo terdiam.

"Jawab, Je!" Haruto mulai tidak bisa menahan emosinya. Dia merasa bahkan jika dirinya mengandung anak Jeongwoo, Jeongwoo masih tidak dapat memperjuangkan Haruto di hadapan keluarganya.

"Kamu nggak bakal ngapa-ngapain kan? Nggak bakal ada yang berubah, Je! Aku capek, kita emang harusnya pisah dari dulu!"

"AKU LAGI USAHA, HARUTO! AKU BAHKAN RELA JADI BUDAK KELUARGA DI PERUSAHAAN SUPAYA AKU DAPAT IZIN BUAT NIKAHIN KAMU! AKU JUGA CAPEK!"

"USAHA APA? USAHA BUAT BERHUBUNGAN SAMA ORANG LAIN MAKSUD KAMU?"

"HARUTO!" Haruto terdiam. Hatinya sungguh sakit dibentak-bentak oleh Jeongwoo.

Setelah hening beberapa menit, Jeongwoo kembali membuka suaranya. "Aku minta maaf. Aku khilaf. Sekretaris aku yang mancing lebih dulu," ucap Jeongwoo. Suara Jeongwoo sudah menurun.

"Di saat kaya gini kamu masih mau nyalahin orang lain? Kamu sadar nggak sih, kamu udah selingkuh? Kamu ngekhianatin aku, Je. Kamu ngekhianatin aku dan janin yang ada dalam kandunganku sekarang,"

"Maaf, Haruto. Aku minta maaf. Kamu boleh pukul aku, kamu boleh tampar aku, kamu boleh lampiasin semuanya ke aku, tapi tolong jangan pergi. Jangan tinggalin aku. Aku nggak mau jauh dari kamu, dari calon anak kita," ucap Jeongwoo kembali meraih jemari Haruto. Haruto diam tak menjawab, menahan isakan yang ingin dari mulutnya. Hatinya sangat sakit. Selama bertahun-tahun menjalin hubungan dengan Jeongwoo, ia selalu berpikir bahwa Jeongwoo sangat mencintainya sehingga ia masih bisa memaafkan segala tindakan  Jeongwoo yang menyakitinya.

Semenjak kejadian Junkyu pun Haruto memaafkan sang kekasih karena Jeongwoo menunjukkan keseriusannya untuk menjauhi Junkyu dan melimpahkan waktu dan kasih sayang untuknya. Namun, kini ia tak tahu lagi apakah dirinya dapat kembali memaafkan laki-laki yang saat ini menangis di sampingnya. Haruto berpikir mungkin masih banyak hal yang disembunyikan sang kekasih darinya.

"Bisa tolong keluar? Aku ingin istirahat," ucap Haruto kemudian.

"Aku harus tetap di sini," balas Jeongwoo kembali menaikkan nada bicaranya walau tidak sekeras tadi.

"Aku butuh waktu sendiri, Jeongwoo. Aku mohon," mata Haruto sudah berkaca-kaca.

Jeongwoo menatap Haruto dalam. Beranjak dari duduknya dan mengecup kening Haruto lama. Menyampaikan kata maaf yang terlalu sulit Jeongwoo lontarkan dari mulutnya.

Haruto tidak menolak perlakuan Jeongwoo. Ia ikut memejamkan matanya menikmati perlakuan Jeongwoo. Mungkin ini akan menjadi terakhir kalinya bagi Haruto menerima kasih sayang dari sosok yang begitu Ia cintai.

Beberapa saat setelah Jeongwoo menutup pintu kamar rawatnya, tangisan Haruto pecah. Haruto memukul-mukul dadanya berusaha menghilangkan rasa sakit tersebut. Mengabaikan darah yang mulai keluar acak dari jarum infus.

Haruto merasa sangat bodoh sempat berpikir bahwa mungkin hari ini akan menjadi akhir dari penderitaannya. Haruto pikir dengan Jeongwoo yang mengetahui kehamilannya, pria itu akan segera membatalkan pertunangannya dan menikahi Haruto.

Namun, jangankan membatalkan pertunangan, Haruto malah diberi kejutan jika sang kekasih tengah berhubungan  badan dengan orang lain.









--------------------------------------------------------------------

Dikit aja buat asupan tengah malam wkwkwk


Thank you so much yang udah baca, vote, dan komen di chap sebelumnyaa!

See you next chapter!


Rabu, 28 Desember 2022.

If Only We Had a Better Ending [Jeongharu]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang