Minggu pun tiba dan Renjun sudah siap di meja makan menunggu Ibu dan Ayahnya turun untuk berangkat bersama ke Gereja.
"Nungguin Kakakmu dulu." Ibunya pun turun dibuntuti Ayah Renjun.
"Tumben. Udah gak atheis dia?" Ucap Renjun sarkas.
"Hushhh." Ibunya duduk di kursi meja makan.
"Kamu udah ganti perban, Dek?" Tunjuk Ibunya pada perban di pelipis Renjun.
"Udah."
"Besok lagi balapan di sirkuit. Masih untung yang luka kamu doang gak ada nabrak orang." Gerutu Ayahnya yang masih berdiri menumpukan tangannya di kepala kursi yang diduduki Ibunya.
"Yuk." Ucap Renjun melihat Kakaknya sudah turun dari lantai 2.
"Kalo menang Ayah kasih black card Ayah ke kamu untuk satu bulan." Imbuh Ayah Renjun. Ayahnya Renjun ini memang sangat memanjakan anak-anaknya dengan kekayaan karena memang mereka kaya. Ia juga cukup fleksibel dan membebaskan anak-anaknya untuk melakukan apa yang mereka mau selama masih wajar dan tidak melanggar aturan. Kemarin Renjun balapan liar? Itu ilegal, Ayahnya sudah menasehatinya untuk tidak lagi. Tapi barusan menantang Renjun untuk balapan di sirkuit, yang legal. Ayahnya ini ingin melihat seberapa gigih dan tangguh putera bungsunya itu.
"Belum mood Yah, kaki aku masih nyeri." Ucap Renjun sambil berjalan bersama Ibunya ke depan.
Ayahnya mengangguk-angguk saja. "Yok Kak." Ia mengajak Winwin putera sulung keluarga ini untuk berjalan dengannya karena si bungsu sudah sama Ibunya.
Ya, keluarga ini cukup harmonis. Semuanya baik-baik saja.
___
Renjun menuju toilet Gereja yang sudah lama tak ia kunjungi. Hampir 3 bulan dia tidak pernah mau kalau diajak orangtuanya datang ke tempat ini. Sejak kecelakan kemarin dia sedikit sadar bahwa segala hal di dunia ada yang mengatur dan dia lumayan takut kalau tiba-tiba waktunya di dunia habis.
Makanya saat Ibunya mengajak Renjun kemarin dia mengiyakan. Dia mau berdoa supaya masih bisa hidup yang lama di dunia dan memperbaiki segala sikapnya yang suka serampangan dan seenaknya sendiri.
Setelah beres urusannya di toilet pun ia keluar. Tapi sayang kepalanya berdenyut. Ia bersandar sebentar ke dinding toilet.
"Excuse me, are you okay?" Ucap seseorang yang baru keluar dari bilik toilet, menyentuh lengan Renjun.
"Gue aman." Jawab Renjun padahal rasanya mau menjatuhkan diri saja.
"You are not." Kata seseorang itu yang memapah pelan tubuh Renjun keluar dari sana untuk mencari tempat duduk di taman Gereja.
"Wait." Orang itu berlalu dari sana meninggalkan Renjun yang masih menstabilkan dirinya dan merasakan kepalanya yang berdenyut. Mungkin efek bertemu orang banyak sampai membuatnya pusing.
"Minum dulu." Lelaki yang tadi membantunya pun kembali dengan sebotol air mineral yang ia bawakan untuk Renjun.
"Thanks." Ucap Renjun menerimanya dan membuka tutup botol di tangannya.
"Ah sini." Kembali lelaki itu mengambil botol di tangan Renjun karena Renjun sedikit kesulitan membukanya tadi. "Nih."
"Makasih, ya." Ucap Renjun sebelum meminumnya.
Lelaki itu hanya mengangguk dengan senyuman tipis di bibirnya.
"Udah gak papa?" Tanya lelaki itu memastikan.
Renjun mengangguk. "Tadi agak pusing aja."
"I see. Kepala kamu diperban gitu. Habis kecelakaan?" Ah Renjun baru ingat kalau di pelipisnya ada luka, ya mungkin saja itu penyebab kepalanya berdenyut sampai pusing tadi.
"Iya."
"Hati-hati ya lain kali." Ujar lelaki asing itu.
Dia mengenakan kemeja putih yang dimasukan rapi ke celana bahan berwarna abu yang ia kenakan. Rambutnya cokelat and he wears glasses. Agak bule.
"Thanks." Ucap Renjun yang tanpa sadar terhanyut pada paras rupawan lelaki yang menolongnya ini.
"I gotta go, see you?" Ucap lelaki itu ragu-ragu.
"Hu-um. See you." Renjun sadar dan membalas lambaian lelaki yang berjalan menjauh darinya itu.
Duh siapa namanya, deh?
Renjun kepikiran sampai rumah dan rasanya ingin segera hari Minggu lagi.
-to be continue-
KAMU SEDANG MEMBACA
[bl] man like me?
FanfictionHidup Renjun mungkin akan lurus jika berada di dekatnya, tapi tidak untuk orientasi seksualnya, belok. "Could you fall for a man like me?"