40. Gharin Sendjaja

767 63 1
                                    

"Jadi selama ini Kakek adalah Ayah kandungku?"

Gharin tersenyum lembut, seperti kapas yang terbang di udara. Tampak tulus. "Iya. Aku ini Ayahmu. Sekarang kau bisa memanggilku papa. Aku suka kau memanggilku seperti itu."

"Tapi kau—yang berniat ingin membunuhku?" Ayu kembali bertanya tanpa mengindahkan ucapan Gharin. Kepala Ayu berdenyut nyeri, fakta yang mengatakan bila Gharin adalah Ayah kandungnya sukses mengguncang dirinya.

Gharin terbaha-bahak, "Iya, kau benar. Saat kau diculik dan kau hanyut di Sungai, itu semua adalah ulah anak buahku. Aku yang merencanakan itu semua walau kau hanyut di Sungai bukan dari rencana itu. Niatnya kau akan kubakar hidup-hidup."

Ayu masih menatap Gharin tak percaya, "Kenapa kek?"

Ayu memejamkan matanya, genangan air matanya pecah. Ia masih tidak percaya dengan ucapan Gharin yang begitu santai mengatakan secara gamblang bahwa ia ingin membunuh Ayu. "Kenapa Kakek ingin membunuhku? Kenapa kau dan Clara ingin aku mati? Untuk apa kau berpura-pura menyayangiku padahal kau ingin aku mati, Kakek?"

"Apa salahku terhadapmu?" Ayu tergugu karena isakan tangis.

Gharin membuang nafasnya, kedua tangan itu kembali menggenggam tangan Ayu yang masih terlilit tali. Dadanya nyeri melihat anak perempuannya menangis.

Bagaimanapun Gharin menyayanginya.

"Sayangnya tidak ada. Justru kau tidak melakukan kesalahan apapun namun membuatku frustasi," Gharin terbahak-bahak lagi, "Yang salah ada Ibumu yang sangat amat bodoh karena kau hadir di rahimnya. Tapi nggak masalah, Nak. Kelahiranmu di dunia ini cukup menghiburku sampai kurelakan kau tinggal bersama Clara dan Oniel."

Gharin bergumam singkat, seakan ia ingin mengatakan sesuatu hal. Lantas ia memandangi Ayu lekat tanpa sedikitpun melepaskan ikatan Ayu.

"Sebenarnya aku ingin bercerita sesuatu tentangku, yang tentunya hanya diketahui oleh Clara dan juga dirimu setelah ini."

Netra coklat itu mendongak melihat langit-langit kamar, menerawang isi pikirannya untuk ia ceritakan. "Sejujurnya aku pernah memiliki seorang adik perempuan dan seorang anak perempuan dari ibu kandung Oniel,"

Ayu bergeming membiarkan kakeknya bercerita.

"Saat aku berusia lima tahun, aku memiliki seorang adik perempuan. Gladis namanya. Ia sangat lucu; memiliki pipi gembul memerah dengan manik mata berwarna biru safir. Ia tampak sangat mengangumkan. Lalu ia tumbuh menjadi seorang anak kecil yang disukai banyak orang, nilai sekolahnya selalu memuaskan, mudah memiliki banyak teman, dan berkepribadian hangat.

"Namun ada sesuatu hal yang mengobrak-abrik isi hatiku. Ia sempat dinobatkan oleh pemerintah sebagai anak termuda yang memiliki banyak prestasi, satu hari penuh keluarga besar merayakan prestasi adikku di Rumah keluarga. Aku sedikit iri dengan prestasinya namun aku ikut bahagia, aku ingat sekali bahwa aku tak berhenti tersenyum karena aku begitu bangga terhadapnya. Kami saling bercanda dan menikmati momen makan bersama. Bahkan aku terus menangkap dirinya selalu disanjung oleh para anggota keluarga. Aku tidak berhenti tersenyum saat itu.

"Tapi kondisi hatiku berubah total setelah ia mengatakan padaku bahwa ia sangat mencintaiku, lalu mengatakan bahwa ia beruntung memiliki seorang kakak laki-laki sepertiku. Hingga kami saling berpelukan erat."

"Awalnya aku menepis perasaan itu, tapi saat ia kembali mengatakan bahwa ia menyayangiku, ia sering memujaku karena berkat dirikulah ia bisa berdiri dengan banyaknya prestasi yang dapat ia raih, tapi di situ aku tak lagi bangga terhadapnya." Ujar Gharin panjang lebar.

"Lalu, apa yang terjadi dengannya?" Tanya Ayu dengan wajah penasaran.

"Aku membunuhnya saat ia tertidur lelap di kamarnya. Aku membekap wajahnya dengan tumpukan bantal dan ia meninggal dunia beberapa menit kemudian."

Lentera Kanwi (Repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang