5. Nafkah lahir batin

885 18 0
                                    

Aku sedang fokus mendengar kan bagian advertising menjelaskan besaran budget yang diperlukan untuk iklan pemasaran produk baru yang akan rilis minggu depan. Sudah lewat jam makan siang sebenarnya tapi Shaka memutuskan untuk segera diselesaikan. Aku janji menjemput Ayah dan Ibu di stasiun jam dua. Tadi pagi aku sudah meminta Mbak Dewi menggantikan ku untuk ikut meeting, tapi jam sebelas tadi ia izin pulang karena anak nya sakit dan harus di bawa ke rumah sakit. Mas Wisnu nggak mungkin bisa karena besok sudah jadwal gajian karyawan, yang mana dia pasti sangat sibuk. Ada karyawan baru, namanya Wita. Kerja nya lumayan bagus, cepet mengerti dan juga rapi. Hari ini Wita di tugaskan membantu Mas Wisnu.

"Jadi gitu, Bel. Kalo untuk brand ambassador yang udah sepakat dipilih emang nggak bisa turun lagi budget dari pihak agensi nya" ujar Yandi tim advertising.

"Menurut ku segitu mahal banget karena si artis lagi viral ya, Mas. Ada alternatif lain nggak? Konsep iklan nya kan emang udah ditentuin, tapi kalo artis nya kita ganti aja gimana? Biar bisa neken budget"

Aku memijit kening ku. Dari semenjak aku dipindah kesini, setiap akan membuat iklan pasti jadi pekerjaan yang berat. Biaya yang sangat mahal membuat tim keuangan harus selalu berdebat dengan tim advertising dan pemasaran.

"Kemarin udah sepakat sama Shaka. Gue rasa udah nggak ada waktu lagi kalo harus ganti"

Aku menatap Shaka dengan tatapan bertanya.

"Saya setuju sama konsep yang dipakai. Budget segitu untuk iklan memang mahal, tapi feedback yang kita dapetin juga besar" jelas Shaka

"Berarti semua udah oke ya?"
Tanya Yandi

"Oke Mas Yandi. Ada lagi yang harus di bahas, Pak?"

"Nggak ada. Kita tutup meeting hari ini"

Aku membereskan berkas di meja dan langsung bergegas kembali ke ruangan ku.

"Pak, saya ijin pulang setengah hari boleh? Semua kerjaan sudah selesai"

Shaka fokus memainkan handphone nya sambil terus berjalan ke arah ruangan ku.

"Ini udah jam setengah tiga, kamu boleh pulang sekarang, Bel"

"Makasih yaa, Pak. Kalo nggak galak tuh ganteng banget!"

Langkah nya berhenti dan menatap ku dengan tatapan yang sulit ku artikan. Aku melipat bibir ke dalam, menyadari apa yang baru saja ku ucapkan.

"Semoga semua urusan kamu hari ini lancar yaa"

Ia mengacak rambut ku dan pergi berlalu.
Aku masih diam ditempat, kenapa sih suka bikin deg-deg-an begini?

***************************

Setelah terjebak macet sampai setengah jam, aku menjemput keluarga ku di stasiun dan langsung pergi ke notaris untuk melakukan akad jual beli. Proses nya cepat, disaksikan oleh keluarga kedua belah pihak.
Rasa haru terus aku rasakan sepanjang perjalanan pulang sehabis makan di restoran.

"Abis ini rencana kamu apa, Bel?"

Ibu membereskan beberapa lauk yang dibawa nya di meja makan. Mbak Laras sedang membuat teh untuk ayah dan mas Arya.

"Tetep kerja keras, Bu. Utang Abel kan banyak ke Ayah sama Ibu."

"Terus apa lagi?"

Aku melirik Mas Arya, memang harus nya apa lagi? Yang ditatap malah mengendikan bahu.

"Kali aja ada pernikahan di daftar rencana kamu"

Ayah berdehem membenarkan posisi duduk nya.

"Pernikahan?" Tanyaku

Unexpected, Size! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang