aku nggak mau nangis.

71 60 21
                                    

jam pulang sudah terlewat tiga puluh menit tapi ragaku masih enggan untuk singgah di tempat yang berbeda. arloji dipergelangan tangan kiri ku kini sudah menunjukkan pukul 15.00 dan semuanya sudah lebih dari sepi.

netraku mengabsen setiap jengkal ruang kelas padahal sudah ribuan kali namun tetap aku ulangi. aku tak punya rumah untuk pulang dan rumah tidak selalu berwujud bangunan.

diantara senyap yang tercipta, aku melamun sendirian. pikiranku terus di jajah hal-hal yang sejatinya ingin aku hapus dari ingatan. satu kejujuran yang harus aku ungkap kalau sebenarnya aku ini apa dan siapa?

jika aku sama-sama manusia seperti mereka-mereka di luar sana, kenapa keluargaku bilang kalau aku ini binatang? mangkanya aku tanya, aku ini apa dan siapa? bohong jika mereka bilang aku ini seorang anak.

anak mana yang tidak pernah diakui kedua orangtuanya?

"anne?"

sekarang dia lagi. aku hembuskan nafasku perlahan sambil mendongak. langit-langit kelas yang aku huni tampak rapuh, seperti aku? tidak. aku malah lebih rapuh dari itu.

"sendirian aja kayak monas."

"pergi, dery."

"ayok pulang. katanya mau takoyaki isi kasih sayang." dery menarikku. "kamu makan takoyakinya sambil aku peluk, biar guritanya berubah rasa."

"mana mau aku dipeluk kamu," kataku yang dibalas tawa oleh dery.

terlalu jahat kalau aku sebut dia pengganggu. dery itu segalanya. aku tahu. tapi segalanya tidak harus ada dery. aku butuh ruang untuk sendiri, mengevaluasi apa yang membuatku memutuskan untuk hidup lebih lama lagi padahal ibuku menyuruhku mati sejak kemarin.

aku masih diam di tempat. terlampau malas untuk bergerak sedikitpun. dery duduk setelahnya, bukan di kursi, tapi di atas meja.

kita saling berhadapan.

"mau nangis?"

"nggak."

"ngawadul, ih."

"aku nggak mau nangis, dery. aku lagi bersemedi. kamu diam, ya?"

"gak mau. mau ganggu kamu sebentar."

"jangan sekarang. nanti aja, oke?"

"yaudah sok merem, aku jagain. tapi sampe jam empat aja. kesorean takut takoyakinya abis, an."

aku langsung memejamkan mata. ingin menangis tapi aku tahan. ini bukan waktu yang pas, dery pasti menceramahi jika aku menangisi meski hanya satu tetes.

dari senyap yang perlahan menenggelamkan akal sehatku, sebuah bisikan terdengar.

awalan terdengar seperti kalimat asal saja, rupanya itu suara nyanyian dery. entah kapan dia beranjak hingga kini sudah di sebelahku, menyanyikan lagu dengan judul nadir. aku suka lagu apapun yang dery nyanyikan.

rasanya damai. suara dery sungguh membuatku sedikit tenang. rasa berat di kepala aku suruh minggat dulu. "makasih, dery ganteng. lebih keras lagi coba."

"udah, ah. udah sore."

"gitu dia, mah."

"besok aja."

"enakkan sekarang."

"nanti kamu tambah galau."

dery sudah berdiri dari duduknya, merapikan alat tulisku di kolong meja lalu dia pakai tas merah marun itu di depan dada. aku diam sejenak, masih mengumpulkan nyawa untuk kembali pulang ke rumah.

"makan yang banyak. nangis juga butuh tenaga kalau kata orang-orang, mah. tapi kalau kamu butuh aku tinggal telpon aja."

aku mendengar perkataan dery saat kami sudah di ujung jalan. dia sempat melawak juga sebelum dia sadar kalau sekarang bukan waktu yang bagus untuk tertawa.

dan pada akhirnya, keheningan menemani kami berdua sampai penghujung jalan.








































kamu tahu banyak tentang aku, tapi kamu selalu menutupi apapun dari aku, dery

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

kamu tahu banyak tentang aku, tapi kamu selalu menutupi apapun dari aku, dery.

pancarona, hendery.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang