hari ini mama mengomel lebih parah lagi, memaki hingga mengutukku. apa dia lupa kalau aku juga darah dagingnya?
papa juga. dia tak segan-segan menamparku beberapa kali. aku tahu kalau dia kalah main judi, mangkanya dia pukul aku untuk melampiaskan emosinya.
rasanya sakit. perih sampai sudut bibirku berdarah. aku lihat mama membawa satu gelas air, dia menghampiri dengan langkahnya yang melebar.
sementara papa, dia membuka mulutku, membiarkan mama menuangkan air dalam gelas itu di luka yang aku punya.
perih. sekali lagi aku kewalahan. itu air garam. mereka sama-sama tidak punya rasa kasihan melihat anaknya merintih sambil menangis. mataku merah padam, dadaku juga sesak bukan main.
aku berusaha tegar, menatap mata mama. "bunuh aku, ma. bunuh sekarang." suaraku bergetar, menangis, menepuk dada seraya berkata, "kalau mama dan papa benci anne, anak paling nelangsa ini, bunuh dia sekarang. siapa tahu beban kalian bisa lebih ringan."
aku berjalan menuju dapur, membawa satu bilah pisau, mendekatkan bagian tajamnya tepat di nadi tangan. "atau aku bunuh diri aku sendiri. itu yang kalian mau?"
"aku sakit, pa. kenapa gak papa palu aja kepala aku supaya aku gak kesakitan lagi."
"bener, kan, ma? mama mau aku mati, iya? jawab iya, ma!" di situ aku pindahkan genggaman pisauku, beralih ke tangan mama.
"cepet bunuh aku!"
mereka tak merespon. mataku tambah berlinang, dan semuanya gelap. samar-samar telingaku menangkap kalimat makian lagi. lihat. aku yang sekarat ini tetap mereka maki habis-habisan.
sampai mataku terbuka lagi. kali ini bukan makian yang aku dapat, melainkan elusan lembut dari seseorang.
dia bernyanyi lirih.
"suara aku damai banget, ya? an, kamu gak bangun dua hari. tapi aku baru tahu tadi pagi, maaf, ya?"
aku tak menangkap apa yang dery bilang. aku hanya ingin dia bernyanyi lagi.
"aku kangen suara kamu, dery." kataku.
dia mengangguk, bernyanyi pelan tepat disebelah tempat tidurku.
bila aku harus mencintai dan berbagai hati itu hanya denganmu
namun bila ku harus tanpamu akan tetap ku arungi hidup tanpa bercinta
dia berhenti, menyuruhku untuk duduk dan bersandar di kepala ranjang. "udah?"
"sedikit banget."
"minum dulu, ya?"
"kenapa aku masih hidup, dery? seinget aku, aku udah pegang pisau."
"maaf aku baru datang, an. ada yang sakit? mau ke dokter?"
"mental aku sakit."
"obatin bareng-bareng, ya? jangan takut lagi, ada aku. kita keluar dari sini. tempat kamu bukan di sini, an."
"di sini dulu, bareng kamu aku ngerasa aman."
"Ke dokter dulu, ya?"
"kamu mau bunuh aku gak?"
"jangan bilang gitu, kamu nyakitin perasaan aku, anne."
"aku capek. bukan capek hidup, der. cuma capek dimarahin mama. rasanya aku selalu salah dimata dia."
"mama kamu punya alasan. dan itu pasti."
"jangan tinggalin aku."
"aku di sini. masih di sini. bareng kamu."
aku peluk dery meski badanku rasanya remuk. dia usap pelan rambutku, dia selalu mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja.
untuk sekarang aku percaya sebab ada dia di sampingku, tapi besok atau lusa? apa rasa percayaku masih utuh? atau malah melebur lagi?
"kamu punya aku."
"aku mau tidur."
"jangan sekarang, an. aku belum bisa kasih kamu kebahagiaan yang lebih dari kemarin."
"aku cuma ngantuk, gak akan kemana-mana. aku janji."
"bohong."
aku malah dibuat tertawa, aku tarik tangannya sampai tangan itu menempel di telinga. "kalau aku gak bangun lagi kamu bisa jewer ini."
dia mengangguk dan menyelimutiku. tetap bertahan sampai aku terlelap.
"jangan sakit, anne. aku bingung harus sembuhin luka yang mana dulu." katanya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
aku harus kemana kalau aku kangen suara kamu, harus ikut pergi juga. iya, dery?