・༓☾ ❊ ☽༓・
Bandoeng, 1808.
Angin terus menghantarkan desing peluru oleh para penembak jitu dari pasukan penjajah itu. Sesekali para pribumi membalasnya dengan tembakan senapan serta lemparan berbatuan tajam sebagai upaya perlawanan.
Para pasukan penjajah terus membombardir habis hingga menghancurkan bangunan dan rumah-rumah penduduk di sekitarnya. Para rakyat berlarian ke sana kemari, berusaha menghindari bom serta lecutan timah panas yang terus di luncurkan.
Langit mulai gelap, awan-awan putih kian berubah menjadi mendung. Rintik hujan mulai turun dengan deras, mewarnai suramnya aksi peperangan antara pribumi dan pasukan penjajah dari bangsa barat itu.
Mereka berteriak ketakutan, tatkala mendengar suara-suara ledakan kecil yang terus berkesinambungan dengan kilat petir yang menyambar. Gemuruh guntur terus mengudara. Suasana tanah jajahan siang ini terlihat begitu suram dan mencekam. Jeritan-jeritan ketakutan para penduduk di negeri itu terekam jelas dalam ingatan.
Para pasukan gerilyawan kaum pribumi masih berusaha melakukan aksi perlawanan. Dengan berbekal sebilah bambu runcing dan keyakinan dalam diri masing-masing, mereka memberontak. Berusaha melawan kuatnya para penjajah.
Mereka tak lagi memedulikan keadaan tubuhnya yang telah lusuh, keringat yang bercucuran, serta sejumlah luka tembak yang menyebabkan darah segar mengalir deras membasahi pakaian yang dikenakannya.
Para penjajah mengibarkan bendera kebangsaannya. Rakyat pribumi tak terima, mereka tak ingin tanah kekuasaannya direnggut paksa oleh para penjajah Belanda.
“Hei, penjajah! Turunkan bendera itu atau kalian akan mati sekarang juga!” teriaknya dalam Belanda.
Sang pemimpin pasukan gerilyawan berteriak lantang. Menodongkan sebilah bambu runcing yang ujungnya telah dilumuri darah segar milik para penjajah yang berhasil ia bunuh.
Si penjajah merasa tertantang, mereka mengibarkan bendera itu semakin tinggi. Tembakan-tembakan peringatan terus mengudara sejak tadi.
Sosok pemimpin pasukan gerilyawan itu murka. Ia menatap tajam para manusia di hadapannya. “Aku memberimu kesempatan terakhir. Jika kalian masih bersikukuh untuk mengibarkan bendera itu kami tidak akan segan-segan melakukan perlawanan!”
“Lakukanlah dengan segera! Apa lagi yang kalian tunggu? Apa kalian takut untuk mati ditangan kami?”
“Kami tidak akan pernah takut mati demi mempertahankan kekuasaan kami!”
Sang jenderal berkebangsaan Belanda itu tersenyum miring. “Baiklah jika begitu. Ingatkan para pasukanmu untuk bersiap-siap menjemput ajalnya!”
“SERANG!”
Dor ! Dor !
Peperangan kembali berlanjut, mereka terus melepaskan tembakannya ke arah para pribumi itu.
Sak! Sak!
Goresan bambu runcing itu terus mengudara, mencincang habis tubuh lawannya yang terus melakukan penyerangan.
Sejumlah pasukan kembali muncul, kali ini seraya melepaskan puluhan bahkan ratusan timah panas untuk menumbangkan perjuangan rakyat pribumi. Mereka terus melakukan penyerangan dengan membabi-buta. Sebagian besar pribumi telah mati terbunuh.
Belanda menggempur kawasan itu secara brutal dengan seluruh armada darat, dan laut. Pemboman secara membabi-buta terus menimbulkan korban yang sangat besar. Ratusan orang tewas dan luka-luka. Keadaan kota Bandung perlahan-lahan hancur lebur. Tanah jajahan yang semula begitu subur, kini telah berubah menjadi lapisan tanah merah yang dilumuri darah para pemberontak pribumi itu.
Sisanya hanya berusaha untuk tetap melakukan perlawanan meski pun seluruh tubuhnya telah dipenuhi oleh aliran darah segar.
“Menyerahlah pribumi! Kalian tidak akan pernah menang melawan kami!”
Baginya, tak ada yang lebih agung dibandingkan orang-orang bangsa Belanda seperti mereka, seolah seluruh kekuasaan tertinggi berada di tangannya, dan para pribumi harus tunduk di bawah kuasanya.
“Aku lebih baik mati daripada harus menyerah ditangan penjajah kejam seperti kalian! Aku lebih bangga mati demi memperjuangkan tanah air daripada kebebasanku harus direnggut paksa oleh penjajah seperti kalian!”
Jenderal Belanda itu tertawa nyaring mendengar jawabannya. “Kau telah menyiksa dirimu sendiri, Bung! Para pasukanmu telah mati bagaikan tikus yang tak punya harga diri! Dan ini saatnya bagimu untuk menyusul mereka ke neraka!”
Dor! Dor! Dor!
Jenderal Belanda itu menembak pria tua itu secara berantai. Maka tumbanglah tubuhnya di atas tanah. Dengan bercucuran darah segar, ia mati dalam aksi perlawanannya sendiri.
Semuanya berakhir. Belanda telah berhasil menguasai kawasan Hindia Belanda sebagai tanah jajahannya.
Dan semenjak hari itu penerapan sistem kerja paksa mulai dilakukan di bawah kepemimpinan VOC dan kolonial bangsa Belanda. Dengan adanya penerapan itu, para penjajah memaksa rakyat pribumi untuk bekerja tanpa mendapat imbalan sepeserpun dari para pemerintah kolonial Belanda. Ratusan hingga ribuan jiwa pribumi menderita, kelelahan, kelaparan, hingga yang berakhir mati meregang nyawa.
• • ━━❪ヾ . ヾ❫━━ • •
𝐁𝐚𝐧𝐝𝐮𝐧𝐠 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐢𝐬𝐚𝐡𝐧𝐲𝐚 | 𝐍𝐲𝐜𝐭𝐨𝐩𝐡𝐢𝐥𝐞𝐭𝐚𝐥𝐥𝐚©𝟐𝟎𝟐𝟐
KAMU SEDANG MEMBACA
Bandung dan Kisahnya ; ( Terbit )
Historical FictionBandung dan Kisahnya, perihal kisah asmara Jeandra Van Aldert ; seorang Kolonel Jenderal berkebangsaan Belanda yang mencintai seorang perempuan pribumi di tanah jajahannya. Terbelenggu dalam aksi pengkhianatan serta perebutan kekuasaan Hindia Beland...