8 | Secangkir teh

102 28 0
                                    

“Bagaimana? Apa kau menyukainya?”

Jeandra mengangguk tanpa ragu. “Ya, ini enak. Terima kasih telah membuatkannya untukku.”

Rinjani mengangguk. “Apa para pembantu pribumi di markas besar pasukanmu juga sering membuat teh hangat seperti ini?”

“Tidak,” Jeandra menggelengkan kepalanya. “Atau lebih tepatnya hanya sesekali saja. Kebanyakan hasil panen teh dari para petani pribumi akan dikumpulkan, yang selanjutnya akan dijual pada para penjajah dari bangsa Inggris yang tengah mencari daun teh serta rempah-rempah di kota ini.”

“Jika begitu artinya kau harus bersabar. Karena kau akan sangat jarang meminum teh hangat seperti sekarang ini.”  Rinjani seraya terkekeh.

“Kurasa tidak,” balas Jeandra seraya kembali menyeruput teh hangat di tangannya. “Selama kau masih berbaik hati dan bersedia untuk membuatkanku secangkir teh hangat lagi dilain hari.”

“Kau ini percaya diri sekali.” Rinjani berdecih. “Apa menurutmu aku akan mau membuatkanmu secangkir teh hangat lagi?”

“Tentu saja.” Jawab Jeandra. “Jika tidak, aku bisa meminta Kakakmu untuk membuatnya.”

“Ya sudah, bukan urusanku,” balasnya kemudian. “Aku juga bisa memanfaatkan waktu luangku untuk membuatkan Anggaralang secangkir teh hangat setiap hari, daripada harus memberikannya padamu.”

Sedangkan Jeandra memilih untuk tetap diam seraya menikmati secangkir teh hangat di tangannya. Tanpa ia sadari, kedua sudut bibirnya berkedut, hingga membentuk seulas senyum tipis yang mampu membuat Rinjani hanyut dalam pesonanya.

Keduanya sama-sama terdiam dengan pikirannya masing-masing. Suasana siang hari ini lumayan ramai, dengan banyaknya aktivitas para masyarakat pribumi yang terus berjalan ke sana-kemari.

Rinjani terdiam, sorot matanya terus memperhatikan permukaan lengan Jeandra yang dihiasi oleh sebuah luka goresan yang terpampang dengan jelas di sana.

“Luka apa ini?”

Jeandra menoleh, mendapati sosok Rinjani yang tengah menunjuk sebuah luka di lengannya. “Hanya sebuah goresan bambu runcing.”

“Kau juga terlibat dalam peperangan itu?”

“Tentu saja.” Jeandra berkata, “Kau lupa jika aku adalah Kolonel Jenderal pasukan Belanda?”

Ah, ya ... Aku sedikit melupakan tentang hal itu.”

Jeandra hanya menggelengkan kepalanya seraya tersenyum tipis.

“Apa ini sakit?”

“Bagiku tidak terasa begitu sakit. Tapi jika bambu runcing itu melukaimu, kau bisa saja langsung mati di tempat setelahnya.”

Rinjani melotot. “A-apa? Kau bercanda?”

“Untuk apa aku bercanda?” ujar Jeandra. “Lagi pula, jika sebilah bambu runcing tak cukup berguna di medan pertempuran, maka para pribumi juga tidak akan menggunakannya sebagai alat perlawanan.”

Benar. Sesuatu digunakan bukan tanpa alasan. Begitu pun dengan bambu runcing yang digunakan oleh para pribumi sebagai alat perlawanan. Bagi sebagian orang, sebilah bambu runcing tak berarti apa-apa untuk melawan para penjajah. Tapi nyatanya, dengan sebilah bambu runcing, beberapa jiwa manusia bisa menyelamatkan nyawanya dari kematian di medan pertempuran.

Bandung dan Kisahnya ; ( Terbit )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang