4 | Seorang Kolonel Jenderal

171 41 2
                                    

Shh ... ”

Rintisan itu terdengar. Sang empunya meringis kecil merasakan sakit di bahunya.

Ia memejamkan matanya sejenak, berusaha untuk menenangkan diri bersamaan dengan rasa sakit yang kian menderanya. Detik berikutnya, derit pintu bersamaan dengan suara derap langkah kaki yang mendekat membuat Rinjani membeku di tempat.

“Apa kepalamu terasa pusing?”

Tubuhnya tersentak ketika suara barusan menyapa indra pendengarannya. Bola matanya membulat, melihat sosok laki-laki bertubuh jangkung, lengkap dengan seragam tentara Belanda yang tengah berjalan mendekat ke arahnya.

“Kau siapa?” Rinjani berangsur mundur, membuat tubuhnya semakin terpojok pada dinding gubuk tua itu. “Tidak! Jangan mendekatiku!”

Laki-laki itu berjongkok dan lantas menyentuh kedua bahu milik Rinjani. ”Tenanglah ... Aku tidak akan menyakitimu.”

Sepersekian detik terus berlalu, namun tak ada pergerakan apa pun dari perempuan itu. Dia tetap menundukkan kepalanya seolah begitu enggan untuk menatapnya.

“Hai, lihat aku!” ujar laki-laki itu. Sebelah tangannya terangkat untuk menyentuh dagu Rinjani. ”Kau tak perlu takut. Tenanglah. Aku tidak akan menyakitimu.”

“Aku tahu kau takut jika seandainya aku berbuat suatu hal buruk padamu. Tapi untuk kali ini saja, cobalah untuk mempercayai seseorang yang kau anggap sebagai musuhmu ini.” Lanjutnya lagi.

Rinjani terdiam sejenak, batinnya terus bersuara mengutarakan berbagai macam pertanyaan yang bersarang di pikirannya.

“Aku Jeandra. Kau boleh memanggilku Jean.”

Rinjani hanya diam seraya mengamati seragam yang dipakai oleh laki-laki itu. Terdapat beberapa atribut yang cukup asing di matanya, serta sejumlah pangkat jabatan yang terpasang rapi di bajunya.

“Pangkat ini?” Jeandra menunjuk salah satu simbol pangkat di bajunya. “Aku adalah seorang Kolonel Jenderal tentara Belanda. Tapi kau tak perlu takut. Aku tak akan melukaimu. Aku justru yang semalam menyelamatkanmu dari salah seorang pasukan tentara Belanda yang hampir melecehkanmu.”

Begitu kalimat itu terucap, Rinjani tak mampu menutupi keterkejutannya. Ia sontak mendongak dengan pandangan bertanya-tanya. ”Tunggu ... Apa maksudmu?”

Ah ..., sepertinya kau melupakan kejadiannya.”

“Semalam, ketika aku tengah berkeliling di sekitar barak militer pasukanku, tiba-tiba saja aku mendengar suara tembakan yang radiusnya tak jauh dari tempatku berdiri,” jawab Jeandra. “Dan begitu aku mencari asal suara itu, aku cukup terkejut begitu melihat tubuhmu tergeletak bersama seorang tentara Belanda yang tengah merobek paksa pakaianmu.”

“Aku tak tahu pasti apa masalah sebenarnya. Tapi ketika melihat raut wajahmu yang syarat akan ketakutan, barulah aku menyimpulkan bahwa laki-laki itu berusaha melecehkanmu.”

Hening setelahnya. Rinjani terdiam. Terlalu bingung harus berekspresi seperti apa setelah mendengar rentetan penjelasan barusan.

“Aku tidak tahu harus bagaimana ..., Tapi, terima kasih telah menyelamatkanku,” ujarnya kemudian. Beberapa detik setelahnya ia kembali berkata, “Dan maaf Tuan ..., Aku telah berburuk sangka padamu sebelumnya.”

“Seharusnya aku yang meminta maaf,” balas Jeandra. ”Aku benar-benar tidak tahu jika para pasukanku sering melakukan pelecehan seksual terhadap para perempuan pribumi di kota ini. Kukira rumor-rumor itu hanya sebatas kebohongan belaka, agar para pasukan kami di cap buruk oleh pihak lain. Tapi kau tenang saja, karena setelah ini aku akan menyelidiki lebih lanjut tentang kejadian ini. Setidaknya untuk memberikan sedikit keadilan bagi para perempuan pribumi yang pernah menjadi korban pelecehan seksual.”

“Kenapa kau menolongku?”

“Kurasa ... Aku punya hak untuk hal itu.” Jawab Jeandra. “Dan kau ...” tunjuknya pada Rinjani. “Kau punya hak untuk sekedar bertahan hidup di tanah jajahanku.”

Karena sejatinya, penderitaan rakyat pribumi tak hanya dirasakan oleh para kaum laki-laki saja. Namun juga pada para kaum perempuan yang manakala sering dijadikan objek pemuas nafsu untuk memenuhi kebutuhan biologis para prajurit Belanda yang singgah di kota ini.

Selama masa penjajahan, para kaum perempuan juga terkena imbasnya. Mulai dari dijadikan pembantu, hingga dijadikan sebagai budak nafsu oleh para pasukan tentara Belanda.

Dan layaknya dalam sebuah kasus kejahatan seksual kebanyakan, rata-rata para korban enggan membuka suara untuk menceritakan kejadian yang menurut mereka merupakan sebuah aib itu.

Dan akibatnya, banyak bayi-bayi tak berdosa yang harus lahir tanpa diminta. Sebagian dari korban pelecehan seksual itu sering menganggap bayinya sendiri sebagai sebuah pembawa sial. Mereka hidup tak terawat ditengah-tengah kejamnya masa kepemimpinan para petinggi bangsa Belanda.

Dengan helaan nafas panjang, Rinjani hanya mampu menganggukkan kepalanya. Setelahnya hanya ada keheningan yang mulai menyelimuti keduanya. Tak ada satu pun di antara mereka yang berani membuka suara lagi. Suara jangkrik pun terdengar begitu nyaring; mengisi kekosongan malam yang terasa menyeramkan itu.

“Apa kepalamu masih terasa pusing?” tanya Jeandra tiba-tiba. Tangannya terangkat untuk menyentuh permukaan dahi milik Rinjani.

Sedangkan Rinjani hanya bergumam pelan, seraya menganggukkan kepalanya. ”Ya ..., sedikit.” Ada sensasi aneh dalam dirinya begitu merasakan bagaimana dinginnya punggung tangan laki-laki itu.

“Setelah kembali ke rumah nanti, segeralah obati lukamu. Lukanya tidak terlalu parah. Untungnya peluru itu hanya melukai sedikit permukaan bahumu.”

Rinjani mengangguk paham, namun tak ayal ia mengumpati laki-laki itu dalam hatinya. Bagaimana bisa Jeandra menyebutnya ‘hanya sedikit’ ketika rasa sakit itu terasa begitu menyiksanya.

Setelahnya Jeandra memilih untuk bangkit, melangkahkan kakinya menuju area sudut dalam ruangan kecil itu. Setelah mendapat apa yang sedari tadi ia cari-cari, laki-laki itu pun lantas kembali mendekati Rinjani yang kini tengah memijat dahinya dengan pelan.

“Pakailah!” ujarnya. Ia menyodorkan sebuah kain panjang berwarna hitam yang baru saja ia ambil dari sudut ruangan.

Rinjani mendongakkan kepalanya, kedua alisnya menekuk syarat akan kebingungan atas tindakan Jeandra barusan. ”Untuk apa? Dan ... bukankah ini milikku, Tuan?”

Ah, ya .. sepertinya begitu. Tenang, aku tidak mencurinya. Aku menemukannya tergeletak di samping tubuhmu kemarin malam.”

Rinjani mengangguk paham seraya memandang penuh tanya pada kain panjang berwarna hitam ditangannya.

“Pakailah!” ujarnya lagi. “Lihat! Bajumu robek. Dan setidaknya, mungkin kain ini bisa menutupi permukaan bajumu yang terbuka.”

Mendengar hal barusan, Rinjani pun tak mampu menutupi keterkejutannya. Tangannya langsung terangkat dengan secepat kilat untuk menutupi permukaan bajunya yang terbuka, tatapan matanya yang semula terlihat teduh kini melotot ke arah laki-laki itu. ”Hei, kau!”

Sedangkan Jeandra hanya menghela nafas panjang. ”Sudahlah! Ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkan hal semacam itu.”

Dengan sedikit ragu, Rinjani akhirnya menganggukkan kepalanya. ”Baiklah ... Terima kasih, Tuan.” Yang lantas dibalas anggukan kepala oleh Jeandra.

Di saat Rinjani tengah sibuk memasangkan kain itu, Jeandra mendudukkan tubuhnya tepat di sampingnya. Sorot matanya terus memperhatikan setiap gerakan yang dilakukan oleh perempuan itu. Entah mengapa ... Jeandra hanyut. Ia tenggelam dalam pesonanya.

“Aku belum tahu siapa namamu,” celetuknya tiba-tiba.

Ah, ya ... Kenalkan, namaku Rinjani.” Jawab perempuan itu tanpa menolehkan pandangannya.

Jeandra menolehkan kepalanya. “Hanya itu?”

Rinjani lantas menggelengkan kepalanya. “Rinjani Ghendis Maheswara.”

Mendengar hal barusan, Jeandra tak mampu menutupi keterkejutannya. Matanya membulat sempurna, diiringi dengan sedikit rasa aneh yang mengganjal dalam dirinya. “Kau putri dari Raharja dan Nyai Lakshmi?”

Rinjani menoleh. “Bagaimana bisa kau tahu nama orang tuaku?”

Bandung dan Kisahnya ; ( Terbit )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang