02. Critical

89 12 0
                                    

"Cora-san, malam ini Luffy menginap ya," ujar Law melewati pria semampai berkemeja merah jambu yang tengah duduk di atas sofa ruang tamu.

"Hai, Cora-san!" suara lain kembali terdengar, mendekat dan mendudukkan diri tepat di sebelah pria pirang bernama Rosinante itu. Rosinante mengangkat kedua alisnya sebagai balasannya atas sapaan Luffy. Ketika ia yakin Law sudah naik terlebih dahulu ke kamarnya, wajah santai pria itu luntur. Luffy lebih dari paham untuk mengetahui maksud tatapan Rosinante.

Ia lalu menyalakan benda pipih persegi panjang dari saku celana pendeknya, menggeser layar dan menunjukkan sebuah ruang obrolan pribadi. Tertulis nama kontak Marco Bucinan Kak Ace pada bagian kiri atas.

Rosinante dengan saksama memperhatikan layar ponsel yang diperlihatkan Luffy. Tiap kalimat diagnosa dari dokter spesialis organ hati itu tidak banyak membuatnya terkejut. Sejujurnya ia juga selalu menanti berita baik, namun ia jauh lebih mempersiapkan diri untuk yang terburuk. Hepatitis bawaan putra angkatnya telah menyebabkan komplikasi sirosis, gagal hati dan varises esofagus akut.

Sekalipun Law adalah dokter kardiotoraks berotak cemerlang, nyaris sempurna semisal ia tidak perlu bergelut dengan penyakitnya sejak lahir. Sudah banyak rentetan medikus ia jajali, hingga saat ini ia berada di bawah penangangan spesialis rujukan Luffy. Semua obat yang ia konsumsi hanya memperpanjang jangka hidupnya, bukan berarti penyakitnya hilang.

Padahal minuman beralkohol sangat asing bagi Law, cairan itu tidak pernah menyentuh lidahnya barang setetes. Tetapi mengenai tato di dada, punggung dan lengan, hal tersebut murni atas izin Rosinante di tahun pertama kuliah, membiarkan Law melakukan apa yang ia inginkan selagi ada waktu.

Rosinante bergumam, mengalihkan pandangannya pada televisi yang tidak menyala, "Temani saja dia ya, tolong beritahu aku jika terjadi sesuatu padanya."

Luffy mengangguk lemah menyaksikan Rosinante kelihatan begitu tegar. Ia pamit menyusul Law, sebelum langkahnya terhenti tatkala Rosinante berkata tanpa menatapnya, "Aku tahu persis bagaimana perasaan kalian untuk satu sama lain. Keputusanmu untuk tidak pernah menjadikan Law sebagai kekasihmu sudah tepat. Jangan sampai kepergian anak itu sewaktu-waktu memengaruhi dirimu terlalu banyak."

Untaian senyum terpaksa menghiasi wajah Luffy, "Tentu, Cora-san. Aku juga tidak ingin memberatkan Torao, aku tidak mau membuat beban pikiran untuknya jika… aku dan dia memiliki hubungan lebih. Torao sebaiknya fokus pada kesehatannya dulu."

"Kau benar. Maafkan aku sudah banyak merepotkanmu, Luffy. Naiklah," sahut Rosinante mendapat anggukan paham dari lelaki mungil itu. Ia menaiki tangga, memutar kenop pintu berwarna cokelat gelap di hadapannya. Luffy menyembulkan kepala dari balik pintu, sosok Law tidak ditemukannya di dalam sana.

"Torao? Torao di mana?" Luffy melangkah masuk, mengedarkan pandangan ke sekeliling berharap mendapati orang yang ia cari. Suara deras air keran wastafel mengalir menjadi satu-satunya petunjuk keberadaan Law.

Ceklek.

Pintu yang tak dikunci dari dalam mempermudah Luffy untuk segera menerobos masuk. Dan kekhawatirannya itu memang nyata. Darah merah segar menggenang di dalam wastafel bercampur dengan air yang terus mengucur dari keran. Luffy beralih pada Law yang kelihatan terkejut akan kemunculan tiba-tiba penambat hatinya.

Sepasang netra hitam itu menatap nanar, menghilang ke balik pintu dan kembali dengan sekotak tisu di tangannya. Pelan ia berkata, "Kemari, Torao."

Law menurut, menggeser dan menundukkan tubuhnya supaya Luffy bisa melakukan apapun yang ia inginkan padanya. Jemari Luffy menarik selembar putih tipis, sedikit memulungnya, kemudian membersihkan bibir hingga dagu pria Trafalgar itu dari noda darah.

Iya, kadang hal seperti ini kurang baik bagi Law.

"Sebentar, Luffy-ya," Law menarik kepalanya, dengan halus membuat Luffy menepi ke sisi lain. Ia kembali berdiri tepat di depan wastafel, menumpukan kedua telapak tangannya. Pening kembali merasuk.

Air mata Luffy sudah tidak terbendung, melihat darah segar itu tumpah keluar dari mulut seseorang yang merupakan tempatnya menaruh hati. Itu terlalu berat untuk ia saksikan, Law sudah menderita sangat banyak.

Grep.

Pelukan erat dari arah belakang bersama tangisan halus Luffy adalah salah satu paduan yang tak pernah Law sukai. Ia sangat ingin berbalik, memeluk dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.

Namun pembuluh darah kecil esofagusnya yang pecah akibat tekanan tinggi vena porta ketika menuju hatinya, tubuhnya sendiri tidak membiarkan dirinya melakukan hal itu. Bagian kanan abdomennya terasa ngilu, cairan amis merah tak kunjung berhenti memenuhi rongga mulut dan mengalir keluar meski ia mencoba menahannya. Penyakit hati memang sering mempunyai kemungkinan komplikasi dengan hematemesis.

"Pelan-pelan, Torao. Kita bisa pergi ke rumah sakit kalau sudah tidak tertahan," ujar Luffy dengan volume kecil sembari mengelusi kemeja yang melapisi seutuhnya abdomen Law. Surai biru gelap Law bergoyang ketika ia mengangguk-angguk, mengiyakan ucapan pria kecil di belakangnya.

Merasakan gerak diafragma Law menyantai, Luffy memutar tubuh tinggi Law menghadap tepat ke arahnya. Kembali lagi ia menekankan tisu pada kedua belah bibir Law hingga tidak ada noda yang tersisa.

"Apa yang kau tangisi?" ucap Law lembut, mengusap jejak air mata yang membentuk jalannya di atas pipi Luffy. Pertanyaan itu menyapa pendengaran Luffy, bukannya tenang, malah hidungnya memerah dan lebih banyak kristal cair turun dari pelupuk matanya, "Aku takut."

Law menghela napas berat, "Harusnya tadi kau tunggu di bawah dulu bersama Cora-san. Tapi kau lihat, Luffy-ya, aku baik-baik saja. Sangat baik."

"Jangan bohong. Torao… tidak pernah baik-baik saja. Karenanya, Torao… bisa pergi dariku kapanpun," lontaran isakan menggema di dalam kamar mandi.

"Dengar, Luffy-ya. Aku janji tidak akan pergi ke mana-mana, tidak akan jauh darimu. Kau jelek saat sesenggukan, jadi hentikan, aku tak suka melihatmu begini," bujuk Law.

Beberapa menit mereka habiskan sebelum Law menuntun Luffy ke atas tempat tidur. Menyimpan pria kecil itu dalam dekapannya, menciumi pucuk kepalanya dan berbagi satu selimut yang sama. Mana mungkin Luffy tidak menikmati segala impresi demi impresi hangat tersebut.

Pelukan Law menjadi tempat ternyaman baginya untuk dianggap sebagai rumah. Tetapi seringkali tiap detak jantung pria Trafalgar itu membuatnya tak bisa tidur nyenyak. Bukan karena ia tidak suka, ia sungguh sangat suka mendengar bunyinya yang tenang. Yang paling mengganggu adalah pemikiran bahwa jantung itu mungkin bisa berhenti berdetak ketika matahari terbit besok.

[TBC]

SAUDADE || LAWLUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang