"Luffy-ya yakin cuti? Bukannya lagi sibuk?"
"Hn, memang sibuk, tapi tidak mendesak, shishishi," jawab Luffy sembari membantu Law menegakkan kepala ranjang. Kemarin sudah lewat seharian dirinya menahan rasa cemas. Begitu beruntung ia masih mendapati suara berat itu menyapa telinganya lagi.
Pintu diketuk dari luar, Luffy bangkit dari duduknya yang belum lama dan menyambut sosok seorang perawat di ambang pintu. Ia menerima nampan berisikan semangkuk bubur yang dibungkus menggunakan plastic wrap.
Setelah mengucapkan terima kasih dengan senyum lebar, Luffy beranjak dan menyiapkannya untuk Law. Ia mengambil satu sendokan dan membuat gestur tengah membuka mulut, berharap Law akan mengikutinya.
"Kau saja yang makan, Luffy-ya. Aku tidak —" protes Law sukses membuat Luffy memicingkan matanya tajam, meski terlihat menggemaskan menurut Law.
"Baiklah, baiklah. Berdua ya, nanti kau bisa beli lagi di bawah kalau kurang, aku yang bayar," Law mencoba membujuk. Luffy mengulum bibirnya kemudian menjawab, "Sepakat! Tapi Torao harus habis tiga perempat bagian."
Meskipun batinnya meronta hendak menolak, alhasil Law tetap setuju. Sepertinya tidak akan kuat juga jika harus melihat Luffy terus bertingkah lucu di hadapannya.
.
.
."Wah! Sejak kapan Torao punya ini?" Luffy berbinar, terlihat jelas kekaguman dalam guratan ekspresi wajahnya. Law hanya memperhatikan pemilik surai raven itu memutar-mutar benda miliknya, sebuah proyektor bintang portabel.
"Tadi pagi-pagi sekali sebelum kau datang, Cora-san membawakannya dari kamarku. Baru kubeli minggu lalu, dan aku ingin melihatnya bersamamu."
Warna kemerahan bersemu pada kedua pipi Luffy, nyatanya Law selalu mengingatnya. Melibatkan dirinya ke dalam tiap kenangan indah.
Luffy berlari kecil ke arah jendela, menutup gorden meski gelap pekat telah menyelimuti langit. Lalu ia kembali menduduki kursi yang menghadap samping tempat tidur pasien. Pada bagian bawah benda itu, Law menekan sakelar kecil dan menghidupkannya.
Tlek.
Cahaya berpendar dari proyektor memenuhi setiap sisi dinding ruangan dengan dasar warna-warni kenampakan aurora. Lengkap dengan 88 rasi bintang yang pernah dikemukakan dan diresmikan oleh International Astronomical Union.
"Ini terlalu keren, Torao!"ujar Luffy penuh semangat setengah menjerit senang sambil menengadahkan kepalanya ke atas. Kapan lagi rasi bintang bisa terlihat di langit kota dan kesemuanya muncul bersamaan. Law ikut menatap langit-langit ruangan tersebut, "Rasi bintang Ursa Major, Ursa Minor, Crux, Cassiopeia, Lyra, Pyxis, Triangulum Australe dan yang di sana Eridanus."
Fokus mata Luffy bergerak mengikuti ujung jari Law, menunjukkan beberapa rasi bintang dan menyebutkan namanya. Luffy ingat, pria Trafalgar ini memang jatuh cinta pada anatomi sekaligus astronomi. Gabungan ilmu yang membuat manusia melihat ke dalam dirinya sendiri, kemudian memandang keluar jauh tanpa batas.
Luffy masih begitu hanyut dalam proyeksi yang begitu memukau dan membuatnya berharap bisa pergi ke satu tempat, melihat semua ini secara langsung. Bersama Law tentunya.
Tak memakan waktu lama bagi pria kecil bersurai raven itu menenggelamkan wajahnya ke dalam lipatan tangan di atas tepi ranjang. Seperti biasa, Law setia memandangi Luffy dalam-dalam, menikmati dengkuran halus dan hembusan napas yang manis itu.
"Terima kasih banyak, Luffy-ya, sudah membuatku mencintai hidupku yang tak sempurna. Kau alasan terkuat bagiku untuk menghiraukan hari-hari penuh rasa sakit itu. Terkadang sampai lupa kalau aku mungkin akan pergi jauh lebih cepat ketika melihatmu," Law berbicara pelan, menepuk-nepuk rambut harum Luffy.
Law melanjutkan aktivitasnya, seraya mengamati bintang terang dalam hidupnya tengah terlelap.
[TBC]
KAMU SEDANG MEMBACA
SAUDADE || LAWLU
Short StoryIris hitam itu semakin kabur dengan semua air yang menggenangi, Luffy sudah tak kuat lagi menahan tubuhnya untuk bergetar, "M-Matahari terbenamnya indah 'kan, Torao? "Ya. Cantik sepertimu." "Jangan sakit lagi, hn? Torao sudah berjuang keras, aku bah...