#1

10 0 0
                                    




Tak pernah terbayangkan oleh Janelle selama 24 tahun hidupnya bahwa ia akan berakhir berdiri di depan altar bersama seorang pria yang tak ia kenali.

Memakai gaun yang mewah dan mahal. Berdiri di hadapan keluarga intinya dan keluarga mempelai pria yang juga tak ia kenali.

"Rangga Agustin Mahendra, apakah anda bersedia untuk mengambil Janelle Chandra Wirawan sebagai istrimu dan mencintainya seumur hidupmu?"

Pria tersebut terdiam sejenak lalu menarik napas dalam.

"Saya bersedia," ucapnya dengan berat hati.

"Janelle Chandra Wirawan, apakah anda bersedia untuk mengambil Rangga Agustin Mahendra sebagai suamimu dan mencintainya seumur hidupmu?"

"Saya..."

Janelle memejamkan matanya, menahan air mata yang hampir terlepas.

"...saya bersedia,"

"Maka saya nyatakan kalian berdua sebagai suami dan istri."

Tiada rasa bahagia di akhir kalimat tersebut. Semua orang bertepuk tangan dari kursinya masing-masing. Namun, kedua pengantin tersebut memendam rasa kecewa dan terpaksa.

——

"Papa bercanda, kan?" tanya Janelle dengan suara yang bergemetar.

Ayah Janelle hanya bisa diam berlutut di depan anaknya sambil menggelengkan kepala.

"Pa... papa ga serius, kan?" tanyanya sekali lagi dengan nada yang lebih tinggi.

"Maafin papa, El," ucap ayahnya pelan.

"Kenapa?"

Ayah Janelle mengangkat kepalanya menatap anak perempuannya yang sedang berbicara.

"Kenapa papa harus berhutang?!" serunya penuh amarah.

"Papa tahu, kan, bisa hubungin Janelle kalau butuh uang!"

Mendengar suara anaknya yang semakin kencang, sang ayah hanya bisa kembali menundukkan kepala.

"Kenapa papa harus berhutang ke orang lain kalau bisa meminta ke anak papa sendiri?!"

"Maafin papa, El... maafin papa..."

Hanya kata maaf yang bisa keluar dari mulut ayahnya. Ia tidak dapat membela dirinya sendiri karena ia tahu itu hanya akan memperburuk keadaan.

Tak disadari setetes air mata terlinang dari kedua intannya.

Diikuti setetes lagi...

Dan lagi...

Dan lagi...

Hingga wajahnya terbanjiri oleh aliran air mata.

Pernikahan ini tidak seharusnya terjadi apabila sang ayah dapat membayar hutangnya.

——

Ngiik...

Suara pintu rumah terbuka, menunjukkan ruangan yang begitu besar dan megah.

Janelle sempat tidak memercayai mata kepalanya sendiri.

Lampu gantung yang begitu besar dan indah menyambut kedatangan mereka. Lantai marmer putih yang berkilau. Serta atap yang menjulang tinggi ke langit.

Rasanya seperti ia sedang bermimpi. Tak pernah ia bayangkan dapat tinggal di rumah seperti ini. Terlebih ia datang dari kalangan menengah ke bawah.

"Selamat siang, pak Rangga. Boleh saya bawakan barang bawaannya?"

Tiba-tiba seorang pria dengan kemeja putih dan kumis tipis menghampiri kedua pasangan tersebut.

Tanpa basa-basi Rangga menyerahkan kopernya dan langsung berjalan menuju lantai atas.

"Anda juga, bu Janelle?"

Janelle termenung masih mengagumi sekelilingnya.

"Bu Janelle?"

Janelle tersentak dan mengembalikan fokusnya.

"Ya?"

"Boleh saya bawakan barang bawaan anda?"

Janelle menatap kopernya sejenak.

"Oh! Iya, boleh."

Ia menyerahkan kopernya kepada pelayan rumah tersebut.

"Nama bapak siapa, ya?" tanyanya.

"Saya Noel, biasa dipanggil El,"

"Wah! Saya juga biasa dipanggil El. Nice to meet you, El!"

Janelle mengulurkan tangannya untuk berjabatan tangan.

Noel terheran sejenak. Tak sering ia diajak berkenalan oleh seseorang yang bergelar 'bos' baginya.

Ia sempat merasa ragu, tapi ia meraih tangan Janelle dan menjabatnya.

"Nice to meet you too, bu Janelle," keduanya tersenyum hangat.

"Mari saya antarkan ke kamar anda,"

Janelle mengangguk dan mengikuti Noel dari belakang.

"Kelihatannya anda memiliki kamar yang berbeda dengan pak Rangga," ujar Noel.

Janelle hanya diam, tidak ingin menjawab pernyataan tersebut.

"Ini kamar anda, bu Janelle,"

Lagi dan lagi, Janelle dikejutkan oleh betapa besar dan luas kamar tersebut.

Ia berterima kasih kepada Noel kemudian memasuki kamarnya.

Kasur king size, TV layar besar, kamar mandi, bahkan ruangan tersendiri untuk lemari baju.

Ia perlahan berjalan ke kasurnya. Ia duduk di atas kasur, merasakan betapa lembut dan empuknya bantal-bantal tersebut.

Mulutnya membentuk sebuah lingkaran. Ia tercengang. Ia masih saja tidak dapat memercayai matanya.

"Aku tersambar apa sampai bisa tinggal di rumah seperti ini?"

-

Marriage ContractTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang