#5

2 0 0
                                    




Rian tengah membaca koran di sofa depan televisi bersama istrinya, Sarah.

Sarah sedang menikmati kopi paginya ditemani suara berita dari televisi. Ia menghirup kopinya yang panas secara perlahan. Matanya terpaku pada layar tabletnya.

Kedua suami istri tersebut duduk dalam diam, melakukan kesibukannya masing-masing.

Seketika pandangan Sarah teralih dari tabletnya. Wajahnya tampak tidak enak dan sedikit stress.

"Rian, kira-kira bagaimana kabarnya Rangga?" tanyanya dengan nada khawatir.

Rian mebalikkan halaman korannya. "Tidak tahu. Semoga dia baik-baik saja,"

"Aku tidak bisa berhenti mengawatirkannya,"

"Kenapa?" Tatapan Rian masih melekat pada koran.

"Tidak tahu... aku sudah lama tidak bertemu dengannya,"

"Baru satu hari,"

"Ya, sama saja! Dia bahkan tidak kenal dengan perempuan itu," cibir Sarah.

"Maka ini kesempatan yang baik untuk mengenalnya."

Merasa jengkel, Sarah menendang kaki suaminya pelan.

"Hei! Kamu ini kenapa?" ringisnya sembari mengelus kakinya.

"Kenapa kamu harus memberikan anak laki-lakiku pada perempuan kotor itu?!" seru Sarah.

Rian menaikkan sebelah alisnya lalu kembali menatap koran.

"Dia bukan perempuan kotor. Hanya saja ayahnya membuat dia mempunyai image buruk,"

"Sama saja! Mengapa kamu membiarkan pria itu meminjam uang kita?!"

Rian menghela napas lalu menaruh korannya.

"Aden dulu teman dekatku. Kita bertemu dari seorang teman. Aden sebenarnya orang baik dan pekerja keras. Ia ingin merintis perusahaan sendiri. Aku sangat ingat dulu dia meminta bantuanku. Ia bersama istrinya membuka toko roti."

Rian menatap wajah istrinya. "Dia suka memberiku hadiah. Yah, bukan hadiah besar, hanya roti buatan istrinya atau terkadang menu baru dari toko rotinya. Dulu dia tidak pernah meminjam uang kepadaku. Namun, tak lama setelah ia mempunyai anak, istrinya meninggal. Toko rotinya bangkrut karena hanya istrinya yang ahli dalam membuat roti. Ia harus mencari pekerjaan dengan cepat. Sayangnya hanya dengan sertifikat lulusan SMA dia tidak bisa mendapatkan pekerjaan dengan gaji bagus—"

"Sejak saat itulah dia mulai meminjam uang padaku. Ia kesusahan membayar uang sekolah anaknya dan juga kontrakan rumahnya. Jadi, kupikir kenapa tidak? Tapi lama kelamaan hal tersebut berulang kali dilakukan. Aku merasa kasihan padanya tapi di sisi lain hal seperti itu tidak boleh dibiarkan saja," jelas Rian.

Sarah menatapnya dengan aneh. "Lalu? Apa hubungan semua itu dengan Rangga? Kenapa harus menikahkannya dengan anak tukang hutang itu?"

Rian mendecak dan memutar bola matanya pada istrinya.

"Bisakah kau tidak usah kasar? Dia anak yang baik,"

"Oh ya? Lalu mengapa ayahnya berhutang hingga 80 juta? Kamu tahu kan buah tidak jatuh jauh dari pohonnya?"

"Terserah kamulah. Pokoknya, Janelle hanha menjadi jaminan bahwa dia akan melunasi hutangnya. Pasti kamu bertanya apa untungnya untuk Rangga?"

Istrinya mengangguk.

"Yah... mungkin saja dari kesempatan ini dia bisa mencairkan hatinya dan..."

"...belajar mengenai perasaan?"

Sarah menggelengkan kepalanya.

"Gila... suamiku sudah gila! Suamiku gila! Sudah gila!" serunya sembari berjalan menjauhi suaminya.

——

Nit! Nit! Nit!

Suara alarm membangunkan Rangga dari alam mimpinya. Ia mematikan alarm tersebut dan bangun dari kasurnya. Ia segera bersiap-siap untuk pergi kerja.

Setelah mandi, ia menyemprotkan parfum ke baju dan lehernya. Ia menyiapkan tasnya dan segera berangkat.

"Selamat pagi, pak Rangga," sapa Noel yang berada di bawah tangga.

"Pagi juga," sapanya balik.

"Mau saya buatkan teh?"

"Tidak usah."

Rangga menatap jam tangannya. Ternyata jamnya kecepatan 5 menit. Ia segera memperbaikinya. Detail-detail kecil seperti ini sangat diperhatikan olehnya. Sedikit kesalahan pun bisa merusak jadwalnya.

"Anda sudah mau berangkat?"

Rangga mengangguk.

"Baik, saya panggilkan pak Seno dahulu," ucap Noel lalu pergi memanggil supir pribadi Rangga.

Sembari menunggu Noel, Rangga mengintip ke ruang makan yang kosong.

'Belum bangun' batinnya.

"Sudah siap, pak," ujar Noel yang tiba-tiba datang, membuat Rangga terkejut dan segera membalikkan badan.

"Terima kasih, Noel," balasnya dan segera berjalan keluar.

"Eh, tapi pak—"

Rangga menoleh.

"Anda tidak berangkat bersama bu Janelle?"

Ia menggeleng.

"Oh— baik."

Rangga memegang gagang pintu, segera keluar, tapi geraknya terhenti. Ia kembali menoleh ke arah Noel.

"Pesankan taksi saat dia bangun," pesannya sebelum pergi.

Noel tercengang mendengar hal tersebut. Ia mengiyakan permintaan Rangga dalam keadaan terkejut.

Pagar pun terbuka dan tak lama kemudian mobil BMW hitam tersebut menghilang dalam sekejap.

——

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 15, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Marriage ContractTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang