Ital, si Anak Sulung; 01

2.3K 467 30
                                    


***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Anak sulung itu memikul beban di kedua pundaknya, betul apa betul?

Ekspektasi orang tua, pandangan orang-orang, dan harus menjadi contoh yang baik untuk adik-adiknya.

Bagiku yang tahun ini akan menginjak usia 25 tahun dalam dua bulan ke depan, memiliki pekerjaan yang mapan dan merasa bahagia dengan apa yang aku jalani saat ini sudah jauh lebih dari cukup.

Tapi sepertinya, bagi orang-orang nggak demikian.

"Kapan mau nikah? Kalau ketuaan nanti susah punya anak, lho."

"Ital udah ngasih apa aja ke Mama sama Papa? Ke adik-adik?"

"Pacar kamu lagi S2 di Inggris, ya? Kamu nggak kepikiran kan, Tal? Cewek mah nggak apa-apa sekolah nggak terlalu tinggi, biar cowoknya nggak susah ngimbangin."

Kenapa ya, orang-orang senang sekali menjejalkan semua keinginan mereka seakan-akan mereka yang membiayai aku sekolah dan yang memberiku makan?

Bukan maksudnya aku gampang terpengaruh, tapi kalau pertanyaan macam itu akan selalu muncul selama 3 tahun terakhir setiap kumpul keluarga, rasanya muak juga.

Umurku sebentar lagi seperempat abad, dan yang kata orang-orang di usia ini kita akan berada di fase quarter life crisis adalah benar adanya.

Aku mulai mempertanyakan untuk apa aku hidup? Apa saja yang akan aku capai di usia ini? Meski hidup sudah lumayan enak dari gaji yang aku dapatkan lewat jerih payahku sendiri, aku tetap nggak merasa puas. Aku terus membandingkan diriku dengan orang lain yang jauh di atasku. Ketika merasa burn out dan mengalihkannya pada hobi, semuanya terasa sia-sia.

Hingga yang paling membuatku kecewa pada diriku sendiri; aku mulai ragu untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius bersama Ivan—pacar tujuh tahunku.

Rasanya aneh, ketika cinta yang sudah kami jalin sepanjang masa perkuliahan hingga kami sama-sama bekerja, dan dia terbang ke luar negeri untuk S2, mulai tergerus oleh waktu.

Aku mulai terombang-ambing di tengah perasaan itu sejak lulus kuliah, ketika mulai bisa melakukan apapun seorang diri. Pikiran, kayaknya tanpa Ivan juga aku masih bisa bahagia, deh, terasa wajar dan biasa saja.

Bahkan saat aku bertanya pada Ivan, "Mama udah nanya kapan kamu mau ke rumah?" dengan tujuan yang menjurus ke arah sana, jawaban Ivan sama sekali nggak membuatku kecewa.

"Maaf Tal, aku ngerti urgensi Mamamu, tapi aku nggak bisa ngambil keputusan terlalu cepat. Kita seusia, Mamaku nggak mau aku nikah di usia ini. Dia pengin kamu nunggu 2-3 tahun lagi, setelah aku bener-bener matang dan siap. Are you willing to wait for me?"

Apa aku sudah mati rasa, sampai kalimat penolakan yang halus itu bahkan nggak membuatku marah, pun merasa sedih.

Aku bisa mengerti, dan aku nggak mau memaksa.

Point of ViewTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang