Bab 2

25 10 6
                                    

"Loh Las, kok disini? Bukannya baru tadi pagi nikahan? Seharusnya kamu di rumah temenin istri kamu."

Laskar tersenyum simpul. Menatap jam tangan yang menunjukkan jam sembilan tepat. Kemudian, melangkah cepat kearah beberapa polisi yang sudah bersiap-siap untuk barisan masing-masing.

"Saya hanya menjalankan tugas, Komandan!" Laskar berdiri tegak. Dengan lantang menjawab, pertanyaan perwira Andi yang tengah menatapnya heran.

"Kamu sudah minta izin dengan istrimu?" Perwira Andi menatap tak setuju. Laskar yang berdiri tegak, terlihat mencurigakan di matanya.

"Jangan sesekali kamu datang kalau istrimu belum memberikan izin. Mau bagaimana pun, sekarang kamu tidak lagi sendiri. Ada tugas lain yang sekarang kamu emban. Dia kamu nikahi atas izin Tuhan. Kamu sudah bersaksi di depan kedua orang tuanya untuk menjaga anak mereka."

Seluruh polisi mengangguk. Semuanya setuju dengan ucapan perwira yang memang sangat masuk akal. Namun, Laskar menggeleng.

"Saya hanya membuktikan bahwa motto Rasta Sewakotama, yang artinya abdi utama bagi Nusa bangsa." Dengan lugas Laskar menjawab. Pandangannya sama sekali tidak turun, tetap lurus ke depan. Memandang perwira yang terlihat mulai merasa sungkan.

"Benar, motto kita memang seperti itu. Tapi selain itu, kamu seharusnya juga tahu motto seorang lelaki dalam rumah tangganya apa. Jika di hari pertama kamu seperti ini, apa yang akan di katakan orang di luar sana tentang istrimu yang baru kamu nikahi?"

Laskar terdiam. Matanya sempat turun beberapa saat, dirinya sama sekali tidak terpikirkan bahwa dalam pernikahan juga harus ada orang lain yang harus dia pikirkan.

"Izin perwira! Saya ingin kembali ke rumah dan tidak bertugas beberapa hari ke depan!"

Perwira Andi tersenyum. Menatap Laskar yang memang dari dahulu selalu menjadi rekan terbaiknya dalam menjalankan tugas.

"Silahkan, pergilah. Kami tidak akan melarang. Negara tidak mewajibkan kita memilih pekerjaan di saat ada istri yang menunggu di rumah." Sang perwira tersenyum manis. Seluruh polisi tertawa mendengar hal itu. Beberapa diantara mereka terlihat tersenyum malu-malu, dan beberapa yang masih lajang terkekeh geli.

Laskar dengan canggung mengangguk. Setelahnya keluar dari barisan dan menghampiri motor di tempat parkiran.

***

Reva menghela nafas. Sekarang sudah jam sebelas dan matanya sama sekali tidak bisa terpejam. Notifikasi dari handphone sedari tadi membuatnya terus siaga.

"Dia belum juga pulang." Reva menutup kembali gorden yang sempat di buka. Matanya memerah, ingatan beberapa jam yang lalu membuatnya merasa malu. Terlihat banyak tetangga yang menyaksikan itu.

"Aku ingin meneleponnya, tapi dia sama sekali tidak memberi tahu nomornya." Setelahnya Reva terduduk di sofa. Terus memandangi pintu, berharap akan ada sosok yang membukakannya.

Jarum jam terus berputar. Kini malam berganti subuh. Reva mengerjap, rasa kantuk yang sedari tadi di tahan membuatnya merasa tak nyaman. Tiba-tiba pintu di buka, Reva langsung sadar bahwa Laskar pulang dan dengan segera menyambutnya.

"Kamu baik-baik saja?" Reva dengan canggung mendekat. Matanya menatap Laskar yang kini terlihat sedikit pucat.

"Yah, saya baik-baik saja. Tidurlah, besok pagi kita harus berkunjung ke rumah orang tua kamu, karena saya ingin menyampaikan sesuatu." Laskar mengangguk, kemudian melangkah begitu saja menjauhi Reva yang langsung terpaku.

'Menyampaikan sesuatu? Jangan-jangan ....'

"Laskar, tunggu!" Reva dengan cepat menyusul langkah Laskar yang sudah menjauh. Keringat dingin membasahi pelipisnya saat mengingat novel yang pernah di bacanya.

"Tunggu!" Setelah merasa cukup dekat, dengan kuat Reva menarik tangan Laskar, hingga pria itu oleng dan berakhir jatuh menimpa tubuhnya.

Reva mengaduh, tubuh Laskar yang lebih besar daripada tubuhnya membuat tulang-tulangnya terasa seperti di timpa seribu beton.

Laskar yang melihat itu langsung bangun, mengangkat tubuh Reva kemudian membawanya ke kasur. Dengan cepat membuka kotak P3K dan menatap Reva lama.

"Tenanglah, ini bukan cidera. Hanya saja tulangku kaget tiba-tiba di timpa." Reva menggerakkan lehernya yang terasa sedikit ngilu kemudian menatap Laskar yang juga menatapnya lama.

Keduanya terdiam beberapa saat, hawa panas yang sebelumnya terasa berganti menjadi dingin, membuat Reva dan Laskar sama-sama menggosok tangan yang terasa tiba-tiba saja gatal.

Reva mendongak, menatap langit-langit kamar yang mendominasi warna gelap. Seketika pandangannya langsung menatap Laskar yang tengah menunduk, entah memikirkan apa.

"Bukannya ini terlalu gelap? Bahkan dindingnya juga berwarna hitam." Reva menatap Laskar lama. Kemudian mengerjap saat tiba-tiba matanya terasa begitu perih.

"Sebenarnya tidak, karena saya menyukainya. Jika kamu tidak suka, kamu tinggal saja di kamar sebelah yang sudah saya persiapkan."

Reva terdiam. Rasa perih di matanya langsung hilang begitu saja. Di tatapnya Laskar yang seolah-olah biasa saja dengan kata-katanya.

"Kamu ngusir aku?" Reva sedikit tersinggung. Namun, dirinya selalu di ajarkan untuk menghormati. Jadi, pikirannya selalu berusaha untuk tetap lurus di tempat.

"Tidak. Hanya saja,"

"Saya akan tidur di kamar sebelah. Besok saya ada jadwal pagi-pagi sekali. Kemungkinan saya tidak akan bisa memasak. Jika tidak keberatan, anda bisa memasak untuk diri anda sendiri, karena saya akan makan di luar. Permisi!" Reva dengan cepat menghindar, sebelum Laskar cepat berujar. Kata-kata yang di ucapkan pria itu membuka pikirannya sama sekali tertekan.

Laskar seperti menanggap dirinya orang asing, dengan hubungan yang sudah mereka jalin.

Sedangkan itu, Laskar yang melihat Reva menjauh terdiam. Kepalanya berdenyut, menyaksikan sikap Reva yang membuatnya sama sekali tidak mengerti.

"Wanita terlalu merepotkan." Laskar bergumam.

"Dasar lelaki, semuanya sama saja!" Reva bergumam. Setelahnya kedua orang itu menutup pintu secara bersamaan dan mematikan lampu di saat yang sama juga.

Revalaska Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang