Bab 3

18 10 0
                                    

Pagi harinya rumah terlihat sepi. Laskar yang bangun pukul 4 subuh menatap kamar Reva lama. Pintu yang terbuka membuat Laskar leluasa mengintip tanpa berniat masuk sekalipun.

"Reva?" melihat tidak ada orang di dalam, Laskar memanggil.

"Permisi, Reva?" Sekali lagi Laskar memanggil, tapi kini dengan nada yang lebih tinggi. Namun, tidak ada yang menjawab. Laskar memilih masuk saat melihat sekeliling amat sepi. Di tatapnya ranjang yang sudah rapi, dan lemari yang terbuka lebar, tanpa sehelai baju pun di sana.

Sontak Laskar bergegas keluar kamar. Memeriksa seluruh ruangan, mencari Reva yang tiba-tiba menghilang. Hingga tiba-tiba dering dari Handphone membuatnya dengan terpaksa menjawab, meski dari nomor yang tak di kenal.

"Assalamualaikum." Laskar mengatur nafasnya. Berusaha mengucapkan salam dengan tenang, tanpa melibatkan emosi.

"Waalaikumsalam, ini Bunda. Reva saat ini di rumah, Bunda. Tadi subuh, sekitaran jam tiga, Ayahmu menjemput Reva. Sekarang kamu datang dan bawa kembali, dia! Bunda muak melihatnya!"

Suara dari ujung sana membuat Laskar terdiam. Pikirannya campur aduk. Antara memilih menjemput atau membiarkan Ayahnya memulangkan istri yang di curi dari rumahnya.

Namun, saat mengingat ucapan perwira tentang motto. Dirinya dengan terpaksa berlari keluar dari rumah. Mengambil mobil, dan mengendarai dengan kecepatan tinggi. Keadaan jalanan yang sepi, membuatnya leluasa untuk berkendara.

***

Laskar menghela nafasnya. Kini posisinya tengah berdiri, dengan posisi siap. Tangan di samping kanan dan di samping kiri, posisi tubuh tegap, dan mata menatap lurus ke depan.

Derwin mengeluarkan senapan dari balik lemari. Mengarahkan senapan itu kearah Laskar yang sama sekali tidak berkedip. Sedangkan, sedari tadi Reva dan Dwi, menatap itu lama. Dwi terlihat biasa saja dengan keadaan yang di lihatnya, sedangkan Reva langsung khawatir, karena dirinya sama sekali tidak mengetahui bagaimana keluarga itu sama sekali.

"Kamu tahu kesalahan apa yang kamu perbuat?" Derwin memasukkan peluru kedalam senapan. Beberapa kali mengerakkan senapan hingga akhirnya posisinya kini lurus, mengarah kearah kepala Laskar.

Laskar mengangguk. "Siap, saya tahu komandan! Saya telah meninggalkan istri saya di rumah sendirian, di mana seharusnya saya bersamanya dan menjaga martabatnya di hari pertama dia menjadi kekasih halal saya, selamanya."

Derwin mengangkat, tapi senapan yang terus mengarah pada Laskar sama sekali tidak bergerak untuk turun. Melihat itu, Reva langsung bergerak ingin mencegah. Namun, instruksi dari sang mertua membuatnya terdiam terpaku.

"Reva, menurutmu harus di apakan lelaki seperti ini? Lelaki yang tega meninggalkan istrinya sendiri padahal sudah dengan jelas, para perwira di sana, menyuruhnya untuk menemanimu selama beberapa hari."

Reva terdiam. Pertanyaan dari Derwin membuatnya merasa ambigu. Ucapan Laskar semalam, membuatnya sadar bahwa mereka tidak berada dalam suatu keadaan yang mengharuskan mereka saling mengerti.

"Maaf, Ayah. Namun, perbuatan Laskar sama sekali tidak salah. Mau bagaimana pun yang dilakukannya benar. Jika saya di posisinya, meski sudah di larang saya pasti akan tetap datang. Itu sudah menjadi tugas, dan saya juga Laskar menganut suatu keyakinan yang sama. Jadi, saya tidak merasa Laskar harus mendapatkan hukuman." Reva menunduk setelah berbicara demikian. Batinnya berharap agar jawaban terdengar masuk akal dan tidak membuat Laskar terlihat bersalah.

Sedangkan Laskar yang mendengar itu menatap Reva lama. Dirinya sama sekali tidak percaya wanita itu akan membelanya, padahal tatapan Derwin Ayahnya jelas tidak menyenangkan.

Revalaska Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang