Bijak dalam membaca, ya! Berikan vote jika sejauh ini kalian tertarik dengan cerita dan kelanjutan ceritanya agar aku lebih semangat, terima kasih.
"Kai!"
"Hei, maaf aku sedikit terlambat. Jadwalku padat hari ini."
"It's totally fine. No problem, yeah, no problem at all. Jus-justru aku yang meminta maaf kepadamu. Kau seharusnya beristirahat, buk-"
Entah sudah berapa kali Kai terkaget dalam dua minggu terakhir. Entah udara macam apa yang mengisi tiap ruang kosong di Amerika akhir-akhir ini. Udara itu seakan mendiami setiap celah di kepalanya yang sebenarnya sudah sesak, layaknya air memenuhi suatu pipa. Bagian dalam kepalanya seakan bersiul, menomor duakan saraf pusatnya untuk mengolah sang penghuni lama yang Kai harap dapat bertahan di sana hingga siulan itu usai. Kai tak dapat mengingat pasti kapan terakhir kali ia merasakannya dari 20 tahun yang ia habiskan untuk bernapas di sini.
"Tanganmu dingin, Kai."
"Benarkah? Ya, kurasa karena Chicago akhir-akhir ini sangat dingin."
Waverly memasang ekspresi tak percaya. "Kukira kau tahan terhadap itu, don't you Mr. Penguin?"
Kai tersenyum singkat. Hembusan napasnya terdengar. Sembari mengangkat alis kirinya ia berkata, "Mungkin aku tak sekuat itu. Tidakkah bagus? Itu artinya aku mulai mengerti batasanku sampai dimana, bukan?"
Waverly tersenyum. Ia merasa hangat setelah selama ini merasa jauh. Cukup lama senyum itu menghias wajah lelahnya yang terlindung di balik make up tipis. Cukup lama sebelum Kai meletakkan sebuah telapak di atas punggung tangannya.
"Thanks. Thanks for letting me out. Thanks for letting me know my limits," ucap pria itu sebelum menarik tangannya dan "maaf," keluar dari mulutnya yang kini membentuk senyum kikuk.
"Ah, benar, apa yang ingin kau katakan? Kau bilang kau ingin mengatakan sesuatu kemarin?" tanya Waverly dengan senyumnya, mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba menjadi canggung.
"Listen, Wavey, bisakah kau membantuku untuk terakhir kalinya?"
"Ka-Kai, there's no last time for you, you know it well. I can help you anytime for anything like there's no end," balas Waverly dengan nada sendu dan mata yang berkilau.
"I guess this is the time, Wavey."
‒
"Kai kau harus berlatih untuk besok. Aku bisa kesana sendiri," ujar Yuna di tengah hembusan angin dingin yang membuat helaian rambutnya melambai. Ia berusaha melepaskan tangan hangat yang kini menggenggam erat miliknya. Tangan yang seakan mengajaknya berlari ke tempat teraman di semesta.
"Yuna, kau tidak kenal siapa-siapa. You were shy when I met you for the first time. Itu hanya aku. Aku ragu kau akan berlaku layaknya wanita independen saat kau tidak mengenal siapapun di sana," balas Kai yang menyampirkan tangannya di pinggang, membuat milik Yuna tertarik karena tak juga ia lepaskan.
"Siapa yang mengatakan aku bukan wanita independen? Aku mengangkat kardus-kardus sendiri," Yuna tak mau mengalah.
"Oh, ya? Kurasa kalimatmu kurang lengkap."
Yuna mengernyit. Kurang lengkap apanya?! gerutu gadis itu dalam hati.
"Aku membantumu kemarin."
"Hei?! Kau membaca pikiranku, ya?!" suara Yuna berubah sedikit lantang. Bagaimana bisa laki-laki itu masuk ke dalam pikirannya tanpa izin, sangat tidak sopan.
Kai mengendikkan bahunya dan berjalan mendekat. "Tidak," katanya. Kernyitan Yuna semakin tajam. Bibir gadis itu mencebik.
"Aku hanya menebak, Nona," ucap Kai dengan nada rendah. Jari telunjuknya mendorong pelan kening Yuna. Kepala gadis itu terdorong ke belakang akibatnya. Karena tak siap, tubuhnya sedikit terhuyung. Ia hampir saja kehilangan keseimbangan jikalau Kai tak menahan punggungnya dengan satu telapak tangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Runway | Huening Kai x Shin Yuna
FanfictionKisah wanita dengan tanda pengenal tak pasti dan solois pada lorong balik layar sebuah runway. Angan membawa hasrat keduanya untuk berpijak pada runway itu. Entah merebutnya kembali ataukah mendapatkannya untuk pertama kali. Entah seorang diri atau...