Ibu

79 11 0
                                    

Ibu

***

Jour Thames bukan berasal dari keluarga terhormat.

Keluarganya merupakan bangsawan jatuh. Hanya mengandalkan status sebagai Baron, tidak sulit untuk membumi hanguskan nama Thames dari buku sejarah Kerajaan Roan.

Keluarga Thames terlilit hutang. Ibu dan ayah Jour sudah hilang akal. Mereka dijauhi kerabat, teman pun bak ilusi yang hilang begitu mereka butuh. Di tengah keterpurukan, melihat anak perempuan semata wayang mereka, sebuah ide gila melintas. Ide tak manusiawi, yang bahkan kau akan berpikir hewan lebih baik dari mereka.

Jour Thames merupakan bunga bangsawan. Rambut merah panjang bergelombang, dengan bola mata semerah darah. Rupanya yang menggoda bagai rubah, sukses menangkap atensi siapapun dalam satu pandangan.

Aset berharga bagi setiap wanita.

Kecantikan.

Dan mereka berniat menjual kecantikan tersebut.

"Anakku," panggil sang ayah pada suatu malam sembari menyentuh pipi lembut anak perempuannya. "Kau tahu, bukan, jika kehidupan kita sedang tidak baik-baik saja?"

Jour mengangguk pelan. Mata ayahnya tak lagi ada cahaya kehidupan. Hanya kehampaan yang dapat ia lihat.

"Apa kau mau membantu kami dengan melakukan kerja sambilan?"

Sebagai anak yang patuh kepada kedua orang tuanya, Jour Thames tidak menyangka bahwa "kerja sambilan" yang mereka maksud ialah menjadi pemuas hawa nafsu bangsawan tidak beradab.

Tiap malam pulang dengan uraian air mata. Lipstik yang mengotori hingga pipi. Baju tak lagi serapi ketika ia berangkat. Rasanya ia ingin mati. Jour Thames tak lagi kuat melanjutkan hidup seperti ini.

Di mana kasih sayang ibu dan ayahnya yang dulu? Di mana perginya seluruh cinta mereka? Apakah semudah itu seseorang dibutakan karena uang?

Suatu hari, Jour merasa mual.

Dia tak memiliki nafsu makan. Tidak, lebih tepatnya apapun yang dia makan, semua kembali dimuntahkan.

Ibunya cemas. Beliau memperhatikan Jour, merawatnya di atas ranjang kamar, membuat Jour teringat kenangan lama yang jauh dari jangkauan. Mendapat perhatian mendadak seperti ini, menyentuh hati kecilnya.

"Dugaanku benar," ujar ibunya dengan suara bergetar. Pupil matanya mengecil, juga wajahnya memucat.

Jour panik. "A-Ada apa, Ibu? Apakah penyakitku parah?"

"Kau ... kau hamil ...." Sang ibu menutup mulut dengan kedua telapak tangan. "Tidak, ini tidak mungkin."

Lucu sekali.

Hal yang dicemaskan oleh ibunya, ternyata bukanlah dirinya.

Otak Jour masih belum bisa mencerna apa yang ibunya katakan, ketika wanita itu tiba-tiba saja mencengkeram bahu Jour.

"Apa—"

"Ini tidak boleh terjadi!" sahut ibunya. Keringat dingin mengalir deras dari kening. "T-Tidak, tidak boleh. Benar, gugurkan saja. Kau harus menggugurkan bayi ini sebelum orang lain tahu!"

"Tunggu!" Jour refleks menepis tangan ibunya yang bergetar. Dia beringsut mundur. "A-Apa maksudmu? Aku hamil?"

"Aku tidak tahu siapa yang menghamilimu, dan tidak seperti bajingan-bajingan tua itu mau bertanggung jawab. Kau harus menggugurkannya sekarang juga, sebelum ayahmu tahu!"

"Ibu, berhenti!" Jour mendorong tubuh ibunya sekuat tenaga ketika beliau berusaha mendekati perutnya. "Aku tidak mau! Aku tidak mau membunuh anakku sendiri!"

"Jour! Ini demi kebaikanmu!"

"Demi kebaikanku, atau demi harga dirimu?!"

Tidak, apa sejak awal kau memiliki harga diri? Jour tertawa getir.

"Kau tidak bisa pergi ke mana-mana. Kau tidak bisa hidup tanpa Ibu ataupun Ayah!"

Jour melempar barang apapun yang ada pada jangkauan tangannya, berusaha lari. Dia tak lagi hidup layaknya bangsawan, pun bukan tinggal di kastel raksasa seperti kediamannya dulu. Tidak ada lagi ratusan penjaga ataupun pelayan yang bisa mencegahnya melarikan diri.

Dengan mudah, Jour berhasil kabur dari tempat yang ia sebut rumah.

Gadis itu menyelinap masuk ke dalam kereta kuda pembawa jerami. Menahan bau busuk, duduk memeluk lutut, berusaha menahan rasa mual akibat laju kereta yang tidak stabil. Jour mengelus lembut perutnya, menangis.

Gadis cemerlang yang dulunya pernah menjadi bunga bangsawan, memiliki segudang prestasi dan kabar baik, kini terpaksa menjadi seorang ibu di usia muda.

Takdir memang lucu. Jour selalu percaya bahwa dunia ini masih memiliki sisi terang. Dia terluntang-lanting di jalan. Melakukan apapun, menerima segala bentuk pekerjaan demi sepotong roti dan seteguk susu.

Waktu mengalir bagai air, dan benang takdir mempertemukannya dengan seorang laki-laki yang menjadi titik putar hidupnya.

Entah sudah sejauh apa dia berjalan, menumpangi kapal, mengarungi samudra, melewati lembah dan hutan. Akhirnya dia tiba di kerajaan tetangga. Saat itu penghujung musim gugur. Dia hamil besar, tidak punya rumah, tidak punya uang. Terkapar di jalan, nyaris kehilangan kesadaran. Di sanalah, dia bertemu seorang pria berambut cokelat tua. Pria itu menyelamatkannya. Pria itu memberinya pakaian, makanan, kehangatan.

Pria itu memberinya kehidupan.

Pria itu bernama Deruth Henituse. Dia bukanlah bangsawan seperti dirinya dulu, tetapi dia merupakan pengusaha sukses. Meskipun hanya menyandang status rakyat biasa, dia dapat hidup dengan layak.

Singkat cerita, mereka berdua saling jatuh cinta dan memutuskan untuk menikah.

Meski sudah mengetahui latar belakang Jour, Deruth tetap mencintainya setulus hati. Dia bahkan menantikan kelahiran anak di dalam janin Jour, menganggapnya seperti anaknya sendiri.

Roda jarum jam bergerak. Anak di dalam kandungan Jour terlahir dengan sehat. Anak laki-laki berambut semerah matahari terbenam, persis seperti ibunya.

Mereka memberinya nama Cale Henituse.

Cale tumbuh menjadi anak laki-laki yang baik. Jour dan Deruth memberinya seluruh kasih sayang serta perhatian kepadanya.

Dua puluh tahun kemudian, Cale pulang dengan luka di sekujur tubuhnya. Kepalanya bersimbah darah, dan dia hampir tumbang begitu Jour membukakan pintu.

"Cale! Astaga, apa yang terjadi denganmu?!"

Jour segera membopong Cale berbaring di sofa, menangis histeris. Di luar hujan begitu deras, dan Deruth juga sedang tidak di rumah karena bekerja. Jour hendak pergi mencari bantuan, ketika Cale menahan lengannya.

"A-Aku baik-baik saja—"

"Jangan bercanda! Babak belur begini kau bilang baik-baik saja? Siapa yang berani menghajarmu?!"

"Ibu."

Suara lembut Cale menghentikan kepanikan Jour. Wanita itu berlutut di sisi sofa, menggenggam lembut lengan putranya.

"Ketika di jalan pulang tadi, aku melihat seorang gadis."

Jour mengusap air matanya, menyimak dengan saksama.

Melihat ibunya sudah mulai tenang, Cale melanjutkan ceritanya. "Gadis itu dikelilingi tiga preman. Mereka mencoba memperkosanya."

Cairan hangat kembali mengepul di pelupuk mata Jour.

"Aku tidak bisa membiarkan hal itu terjadi, Bu. Maka, aku menolongnya. Aku menghajar ketiga preman itu, memberikan waktu baginya untuk lari. Aku memang terluka, tapi setidaknya ada masa depan yang berhasil kuselamatkan."

Jour memeluk putranya, tangisnya kembali pecah.

Hal itu membuatnya teringat akan masa lalunya.

Dia dijual oleh orang tuanya sendiri, diperkosa, masa depannya hancur.

Dan saat ini, putranya menyelamatkan seseorang dari masa depan yang sama dengannya.

Mungkin Jour bukanlah wanita yang baik, tapi setidaknya, dia sukses menjadi seorang ibu yang hebat.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 05, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Teruntuk Dirimu [TCF Drabbles]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang