23. Untuk Melangkah ke Depan

1.3K 177 42
                                    

Ardhani membuka mata perlahan saat merasa mobil yang ia tumpangi mulai melambat. Benar saja, di sampingnya, Adam hendak memarkirkan mobil di pinggir jalan perumahan yang terlihat lengang.

"Katanya ke pantai," ucap Ardhani sedikit serak.

Adam menolehnya sesaat dan tersenyum kecil. "Di sini dekat pantai."

"Nggak kelihatan."

Samar-samar debur ombak terdengar saat kaca pintu mobil diturunkan.

Punggung Ardhani tiba-tiba menegak hingga menjatuhkan bungkus sandwich kosong dari pangkuannya. "Terus kita ngapain di sini?" tanyanya seraya mengambil bungkus tersebut.

"Minum dulu." Adam menyodorkan sebotol air mineral. "Kamu belum minum selesai makan tadi."

Ardhani menerima uluran botol yang telah terbuka tutupnya tersebut dengan diam. Ia membasahi kerongkongannya seraya memperhatikan sekitar.

"Kita tunggu bentar lagi, ya? Biasanya jam segini dia nyapu halaman rumahnya."

Kening Ardhani mengerut. "Siapa?"

Pandangan mata Adam tertuju pada rumah berhalaman luas yang berada di samping kiri mobil. Sorot matanya berubah sendu saat senyum kecilnya terukir. "Vanesha," jawabnya kemudian.

Udara di paru-paru Ardhani seolah tersedot habis seketika. "Bu-buat apa kita ngelakuin ini?"

"Ada yang mau kuceritakan ke kamu." Adam lalu menoleh Ardhani, menatap perempuan yang terkejut itu dengan seksama. "Lagian kamu dulu pernah tanya 'kan siapa Vanesha?"

"Terus kita nemuin dia, gitu?"

"Nggak perlu. Bisa dijamin tidurnya nggak akan tenang selama seminggu kalau aku berdiri di depannya. Cukup dari sini aja kita lihat dia."

Tak ada respon dari Ardhani. Perempuan itu terlalu terkejut saat ini. Siapa yang menyangka persetujuannya atas ajakan Adam empat jam yang lalu membawanya ke tempat yang tak terduga begini?

"Mau sandwich lagi? Di belakang masih a-"

"Nggak," potong Ardhani cepat.

Adam mengangguk-angguk, lalu mengetukkan jemarinya di atas roda kemudi. "Gimana kabar kamu selama ini, Dhan?"

Ardhani menghela napas berat, terlalu malas menjawab pertanyaan basa-basi.

Kekehan Adam mengalun. "Tersirat banget, sih?"

"Cerita apa sih yang mau kamu omongin sampai kita harus ke sini?"

Bibir Adam terkatup. Sorot matanya sempat gentar, sebelum ia bisa mengendalikannya. "Cerita tentang kesalahanku."

Sedetik setelah mengatakannya, pupil mata Adam bergerak menatap ke halaman rumah Vanesha. Saat Ardhani mengikutinya, ia melihat sesosok perempuan berambut hitam panjang menuruni undakan teras. Walaupun memakai daster rumahan, tubuh perempuan berparas teduh tersebut nampak langsing dan jenjang dari kejauhan.

"Itu Vanesha?" tanya Ardhani tanpa sadar.

"Iya."

Semua asumsi Ardhani tentang Vanesha pun terbukti seketika. Perempuan cantik yang membawa sapu tersebut bahkan nampak lebih menawan dibanding penampilan Ardhani setiap kali hendak berangkat kerja.

Another level sih ini, Dhaaaan...

"Aku kenal Vanesha di semester tiga." Adam memulai ceritanya. "Dia adik tingkat kuliahku setahun dari SMA Jakarta. Dari jaman dia maba udah banyak banget cowok yang deketin dia."

Bahu Ardhani melemas.

Ya iya lah, Daaaaam. Orang secantik itu mana mungkin ngga dilirik?

"Tapi sebagian dari mereka mundur karena tahu Vanesha sering banget disamperin sahabat cowoknya dari Jakarta. Sebagiannya lagi mundur karena udah dapet penolakan langsung."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 22, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SoulmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang