🍧🍧🍧
.
.
.
.
.
.
.Satu pekan kemudian...
Subuh hari, keluarga Ayana dan Ayden mendapatkan kabar dari paman Ayana yang tinggal bersama dengan Zafran, bahwa Zafran jatuh sakit dan dilarikan ke rumah sakit. Dengan perasaan cemas mereka pun segera pergi ke rumah sakit setelah sholat Subuh. Termasuk Ayden dan kedua orang tuanya.
Waktu semakin berputar, Zafran pun sadar. Namun, kesadarannya membuat Ayana terpaksa menerima kalau pada hari ini dia harus menikah dengan Ayden. Zafran yang terbaring lemah meminta mereka untuk menikah pada saat itu juga karena ia ingin melihat cucunya bahagia sebelum ia meninggalkan semuanya di dunia ini.
Melihat Zafran, mereka semua tidak tega. Padahal akad nikah akan dilangsungkan beberapa hari ke depan, tetapi sekarang Zafran memintanya sekarang.
"Abi mohon, Abi pengen lihat cucu kesayangan Abi menikah, Nak." pinta Zafran lirih kepada putranya, Alamsyah.
"Baik, Bi. Alam akan memanggil penghulu terlebih dulu." patuh Alamsyah. Ia beranjak lalu pergi dari ruangan Zafran.
Ayana menangis di pelukan Amira. Ia tidak tega melihat keadaan Zafran dan juga tidak siap menikah dengan pria yang sama sekali tidak mencintainya.
Setelah setengah jam kemudian, Alamsyah pun berhasil membawa seorang penghulu ke rumah sakit. Dengan izin dari dokter dan perawat, mereka melakukan akad nikah di depan Zafran.
"Bismillahirrahmanirrahim. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau Ahmad Ayden Abrisam bin Adam Abrisam dengan putriku Ayana Nur Faiza binti Muhammad Faiz dengan mahar 100 ribu rupiah dan seperangkat alat sholat, tunai." ucap Alamsyah yang menjabat tangan Ayden.
"Saya terima nikahnya Ayana Nur Faiza binti Muhammad Faiz dengan mahar tersebut, tunai." ucap Ayden dengan lantang.
"Bagaimana para saksi? Sah?" tanya bapak penghulu.
"Sah!!" sahut semuanya.
"Alhamdulillahirabbil 'Alaamiin."
"Barakallahu laka wa baaraka alaika wa jamaa bainakumaa fii khoir." ucap bapak penghulu.
Zafran tersenyum bahagia melihat cucunya telah sah menikah dengan Ayden, laki-laki yang ia pilihkan untuk Ayana.
Setelahnya napas Zafran terasa berat dan sesak. Semua beralih kepadanya dengan perasaan khawatir.
Alamsyah segera memanggil dokter hingga tidak lama kemudian dokter pun datang. Semuanya dititahkan oleh dokter untuk keluar. Dengan rasa berat, mereka harus menunggu di luar.
Beberapa menit kemudian, dokter keluar. Alamsyah langsung mendekatinya dan bertanya, "Bagaimana keadaan abi saya, Dok? Beliau baik-baik saja kan?"
"Maaf, saya sudah berusaha, tetapi bapak Zafran telah meninggal dunia." beritahu dokter tersebut.
Semuanya merasa syok mendengarnya.
"Innalillahi wainna ilaihi roji'un."
"K-Kakek..." lirih Ayana. Ia menatap Amira yang merangkulnya dengan mata yang berkaca-kaca. "Mi, Kakek enggak kenapa-kenapa kan?... Kakek enggak ninggalin kita kan?" tanyanya.
Amira menggeleng pelan. Air matanya juga telah jatuh membasahi kedua pipinya. Ia peluk Ayana untuk menenangkan sang putri. "Allah sayang sama Kakek, Nak. Ini semua sudah menjadi takdir-Nya Allah..." Amira mengusap-ngusap punggung putrinya dengan sebelah tangannya. Sedangkan sebelahnya lagi ia gunakan untuk mengusap bahu sang suami yang berada di sampingnya tertunduk menangis.