"Kamu ingat; sudah berapakali Ayah dipanggil ke sekolah karena ulahmu bulan ini, Jungkook?"
Suara tegas, serta sorot mata sang ayah yang kentara sekali menunjukkan amarah juga kekecewaan nampaknya tak lantas membuat remaja lima belas tahun bernama lengkap Min Jungkook itu goyah. Alih-alih meminta maaf, Jungkook justru menatap balik sang ayah dengan tatapan tak bersalah.
"Tiga? Empat? Lima? Ah, entahlah. Aku sampai lupa saking seringnya guru memanggil Ayah ke sekolah."
Dilanjutkan dengan jawaban sarkas yang semakin membuat Min Yoongi-sang ayah-menggeram marah.
"Apa-apaan jawaban kamu itu? Kamu tidak menyesal? Tidak kasihan pada Ayah yang harus menanggung malu karena segala tingkah lakumu?"
Yoongi menghela napas, jengah. Tidak menyadari sejak kapan putra manisnya berubah menjadi anak pembangkang yang kerapkali membuat kepalanya berdenyut nyeri.
Mungkin sejak perpisahan ia dan Ga Eun-sang mantan istri-yang berakhir dengan Jungkook harus tinggal bersamanya. Alih-alih sang ibu, yang mungkin saja memiliki tempat lebih besar jika dibandingkan dengan dirinya di hati anak itu.
Atau barangkali, itu di mulai dari dirinya yang tanpa sadar maupun tidak, telah menorehkan luka di hati sang putra karena kurang memberikannya perhatian sebab terlalu fokus pada lukanya sendiri.
Apapun itu, Yoongi jelas tidak bisa menerima segala perilaku buruk sang putra. Membolos di tengah pelajaran, mengusili para guru, bahkan membuat keributan dengan berkelahi, yang mana hal tersebut membuat Yoongi harus bolak-balik ke sekolah hanya untuk mendengar keluhan tentangnya.
"Jungkook." Yoongi kembali memanggil sang putra. Intonasinya tak lagi setegas tadi, kilat amarah dari kedua netranya pun telah berganti dengan tatapan yang Jungkook sendiri tidak mengerti; apa arti dari tatapan ayahnya ini.
"Kamu pasti mengerti Ayah tidak pernah suka jika harus melakukan ini. Tapi hukuman tetaplah hukuman. Kamu telah melanggar kepercayaan Ayah, lagi. Jadi seharusnya, kamu juga berani menerima segala konsekuensi."
Mendengar itu, Jungkook tersenyum. Ia paham betul arti dari ucapan sang ayah kali ini. Detik selanjutnya, Jungkook yang sedari tadi memasukkan kedua tangannya di saku celana, manarik kedua tangan itu untuk kemudian ia ulurkan pada sang ayah. Membiarkan telapak tangannya memerah sebab dipukul dengan penggaris besi oleh ayahnya.
"Sudah? Boleh aku ke kamar sekarang? Berkelahi dengan Jaehyun cukup membuatku lelah. Lalu ini-" Jungkook kembali tersenyum, menarik sebelah tangannya kemudian mengepalkannya di udara. "Pukulan Ayah boleh juga, sepertinya cukup untuk membuatku tidak bisa memegang stik game, ya."
Usai mengatakan itu, Jungkook berlalu pergi dari hadapan sang ayah tanpa mendengar jawaban darinya.
Jungkook mengerti kenapa ayah bersikap seperti ini. Ayah tidak suka ia berbuat onar, akan tetapi, entah kenapa sekarang ia suka sekali melanggar perintah ayah dan membuat dirinya sendiri dimarahi. Ayah tidak banyak menuntut, beliau hanya ingin ia menurut. Namun entah sejak kapan, ia mulai berani berontak dan memaksa sang ayah untuk terus dan terus memberikannya hukuman.
Jungkook bukannya tidak sadar jika kelakuannya telah menyakiti sang ayah maupun dirinya sendiri. Ia mengerti, tapi tetap saja, ia melakukannya sebab merasa ayah pantas menerima semua ini.
Jungkook sadar dirinya salah.
Jungkook sadar upayanya untuk melampiaskan kekesalannya pada sang ayah telah membuat hubungan mereka berubah.
Satu-satunya yang tidak Jungkook sadari adalah; sang ayah berkali-kali lipat menahan sakit atas segala tindakannya.
Jungkook tidak sadar, tangan ayah selalu gemetar saat mengangkat penggaris besi padanya.
Jungkook tidak sadar, setiap kali, sepanjang malam, ayah akan menangis sebab merasa menyesal.
Jungkook sama sekali tidak sadar, sebelah telapak tangan sang ayah-tepatnya tangan kirinya-pun membiru. Sebab setiap kali beliau memberikannya hukuman, setelahnya ayah juga tak lupa untuk menghukum dirinya sendiri dengan memukul telapak tangannya-tiga kali lipat lebih banyak dari yang telah beliau berikan.
Bersambung.
Ohoho, masih ada yang inget sama cerita ini?