LIBIYA, Ayden, Geisha, Hanafi, dan Miko tengah berkumpul di kantin. Ini tahun 2012, maka jangan terkejut bilamana menemukan penampakan anak sekolah yang mampir ke warung dan tidak langsung pulang ke rumah setelah jam sekolah usai. Gelak tawa menguasai atmosfer di tempat berbau macam-macam makanan lokal. Ya, tawa mereka berempat, tanpa Miko.
Sadar akan hal itu, Geisha menyikunya, “Ikut ketawa, dong? Bete banget kayaknya?”
“Nggak tahu, ah.” Semuanya terheran-heran dibuatnya. Ia meninggalkan meja reyot itu entah pergi ke mana.
Meski teman, ada secuil rasa panas dalam dada Miko tatkala mengetahui teman kecilnya menjalin hubungan dengan orang yang sudah ia sukai sejak lama—bahkan lebih lama dari Hanafi. Dengan berbaik hati ia melepas Libiya dalam dekapannya. Namun dirinya tak menepis kenyataan bahwa ia merintih setelah mendapat kabar pada kemarin malam.
“Kamu kenapa, Ko?” tanya Geisha yang ternyata membuntutinya dari kantin.
“Ngapain ngikutin gue? Pergi sana,” usirnya.
Geisha mendengus, “Galak banget, kamu galau?”
“Iya, kenapa? Kenapa lo malah ke sini? Sana balik, biar mampus jadi nyamuk sekalian,” ketusnya.
Perempuan berwajah mungil itu ber-oh-ria, “Maaf, deh.”
Kedua alisnya bertaut, “For what?”
“Maaf karena aku dukung mereka padahal kamu kacau begini,” imbuhnya.
Miko tertawa kecil, “Lucu, ya, lo, udahlah sana! Ngapain ngikutin gue mulu? Risih tahu, nggak?”
“Berisik, ikut aku aja ayo.”
Ia pasrah tatkala tangannya diambil alih oleh perempuan menyebalkan itu. Namanya Geisha, perempuan yang selalu berada di antara Miko dan Hanafi, ia seperti kabel penghubung. Dalam hati, Miko mengeluarkan sumpah serapahnya untuk perempuan mungil itu, namun jauh di dalam kepalanya, ia mengiyakan ajakan Geisha.
Dari pada mumet lihat orang pacaran.
Alun-alun. Banyak makanan, mainan, dan tentunya pasangan yang tengah bermesraan. Untuk sesaat, Miko bergidik ngeri mendapati pemandangan seperti ini. Geisha turun dari sepeda yang ditungganginya bersana Miko, Ia berdiri di hadapan Miko.
“Tunggu, sebelum lo ngoceh ... ini tempat apaan, sih?”
Geisha melotot tak percaya, “Healing, Ko, healing ... tempat ini seru banget, lho? Ayo beli balon.” Lagi, Miko kembali pasrah kala tangan kanannya ditarik.
Mari menjadi diri sendiri. Mereka melakukan banyak hal. Memancing ikan, memanah, membeli es krim, roti, dan apel. Untuk yang terakhir, mereka akan menerbangkan balon yang sudah mereka beli sebelumnya.
“Ini 'kan pakai helium, Ko, jadi bisa terbang. Kamu bikin wish, deh, terus lepasin batu yang ngegantung,” jelasnya sembari menunjuk batu yang menggantung di ujung tali balon itu guna menahan balon agar tidak terbang.
Miko tertawa, “Apaan, sih? Wish? Konyol banget, lo kira gue lagi ulang tahun?”
Jemari Geisha bergerak mencubit pinggang Miko, “Nurut aja, kenapa, sih?”
“Ya udah.”
Ia tak tahu apakah ini bisa membuatnya bahagia kembali atau tidak, namun dadanya terasa lebih lega tatkala Geisha menarik tangannya, berlari ke sana ke mari dengan jemari yang bertaut. Hangat, entah sejak kapan Miko menyukai sensai ini.
“Hujan! Ayo neduh!” Lagi dan lagi, Geisha berlari menariknya.
Geisha terbaring di depan ruko yang tak berpenghuni, ia tertawa. Sedangkan Miko keheranan melihatnya.
Telunjuk Geisha terarah ke hidungnya, “Kamu apatis banget, Ko.”
“Apatis?”
Ia mengangguk dan ikut duduk di samping Miko, “Iya. Tapi aku nggak nyangka, cowok yang kelihatan apatis, nggak punya semangat hidup, dan setiap hari belajar bisa cemburu juga ternyata.” Kedua alis Miko tertaut mendengarnya. Bak dukun, Geisha seolah membaca pikiran Miko, “aku perhatiin kamu sejak lama. Aku memang suka kamu, tapi aku nggak pernah mau pacaran.”
“Kenapa?”
“Miko? Kupikir kamu pintar dan nggak perlu alasan dari kalimatku barusan. Semuanya itu nggak ada gunanya, semuanya sia-sia. Penyesalan 'kan datangnya terakhir, itu ada di sini.” Ia menunjuk dada Miko.
“Tapi, bukannya lo pernah pacaran?”
Ia kembali mengangguk, “Dan aku menyesalinya karena hubunganku nggak berjalan kayak orang lain. Kamu juga, 'kan?”
Geisha benar. Hubungannya tidak berjalan selancar hubungan Hanafi dengan Libiya. Semua yang ia lakukan benar-benar sia-sia, tak ada gunanya. Ia menyesal karena telah membuang waktu untuk orang yang bahkan tak ditakdirkan untuknya. Geisha memang tak ia kenal dengan baik, tapi semua kalimatnyalah yang sangat ia butuhkan.
“Iya, gue juga.”
#POETRY.
KAMU SEDANG MEMBACA
sepatah dua patah
Teen Fictionstray kids ot8 | local au. disebut bagian satu jauh dari kata cukup, disebut prolog pun tak bisa.