last night: satu malam yang panjang
libiya maharani | jaya hanafi
miko, mendorong kuat tubuh hanafi hingga lelaki berpipi tupai itu terhuyung ke belakang. tahun ajaran kedua di metropolitan sangat memungkinkan para pemuda bercelana kelabu untuk berlomba-lomba menarik atensi lawan jenisnya. serupa dengan hal yang dilakukan oleh hanafi.
"lagi dihukum jangan banyak gaya. gak malu dilihat libiya?" tegur miko.
Hanafi tersenyum lebar, "Bagus, dong, kalau gue dilihat Libiya, artinya gue menarik."
"Gigi lo menarik, dia ilfeel, mampus lo," sarkasnya.
Tak dirasa, upacara telah usai. Ia sangat berterima kasih pada Miko sebab telah membuat waktu berjalan lebih cepat, setidaknya untuk hari ini. Hanafi langsung merapikan pakaiannya setelah sadar Libiya berjalan ke arahnya.
"Coy, makasih," ucapnya sembari menyodorkan topi yang dipakainya.
"Bayar," tukasnya.
Libiya menghela napasnya dan tertawa kecil, "Lo mau apa?"
"Ada bioskop yang baru buka di deket alun-alun. Pulang sekolah ke sana, yuk?"
Siapa pun, tolong bawa Miko pergi dari dunia Hanafi dan Libiya. Tak disangka Libiya mengiyakan permintaannya. Sungguh, Hanafi tak ingin jika hanya sekedar melihat Libiya dari kejauhan. Ia selalu ingin tahu tentang Libiya. Nama, umur, tempat tinggal, dan lainnya. Ia sadar, hal itu akan sangat mengganggunya, maka ia akan melakukannya dengan caranya sendiri.
Baginya, Libiya seperti sebuah mobil sport di terowongan yang gelap nan sunyi. Mesinnya yang berisik itu menggema di dunianya. Libiya berbeda dengan yang lain, ia seolah mewarnai dirinya sendiri dengan warna yang mencolok. Ia selalu memiliki cara untuk membuat Hanafi terkejut sebab kagum akan dirinya.
Maaf kalau kelewat batas.
Inilah Hanafi, yang akhirnya keluar dari zona nyamannya. Inilah Hanafi, yang kini melangkah lebih maju. Inilah Hanafi, yang kini mulai lancang mengikis jarak antara dirinya dengan pujaan hatinya. Ia tak terbiasa dengan ini semua. Hatinya berguncang tak bertempo kala Libiya berdiri di sampingnya. Jika Libiya bisa mendengar detak jantungnya, Hanafi seberisik pertemuan ban dan rel kereta.
Canggung, padahal ia yang meminta.
"Lo cerewet banget, Han," tegur Libiya.
Hanafi terdiam sejenak, ia menggaruk tengkuknya yang bahkan tak terasa gatal sama sekali, "Ya maaf, kalau lo nggak nyaman, gue bakal diem kok."
Libiya membalasnya dengan senyuman, "Santai aja kali! Gue suka."
Lagi, jantung Hanafi kembali berdebar. Ia bersorak dalam hati untuk keberaniannya sejauh ini. Ini semua adalah yang ingin ia katakan.
"Hah? Suka?"
Perempuan bersurai coklat gelap itu mengangguk, "Ya iya."
Hanafi menghentikan langkahnya. Ia menatap dwi manik indah milik perempuan di hadapannya. Libiya benar-benar membuatnya gila. Dirinya yang bersinar seolah menerobos kerumunan dan menjadi satu-satunya objek bagi Hanafi. Setelah mengetahui segala hal tentangnya, ia akan terus bersikeras untuk menjangkau dan meraihnya, dengan harap bisa mendekapnya. Ia berharap bahwa ia tak berasumsi sendirian, ia tak ingin Libiya tak mengetahui isi hatinya.
"Lib."
"Iya?" Ia mengangkat kepalanya guna melihat wajah Hanafi di bawah sinar lampu jalan.
"Pacaran, yuk?"
Keduanya terdiam. Suara jangkrik mulai terdengar jelas, pun dengan kendaraan yang berlalu lalang. Meski ia belum mengetahui apapun tentang Libiya, ia akan meluangkan waktu untuk mengenalnya, hingga dasar terdalam bahkan jika itu semua membutuhkan waktu. Hanafi benar-benar hebat, ia bersikap berani di depan namun di balik itu semua, ia tak lain hanyalah seorang pengecut dengan tungkai yang bergetar.
"Pacaran?"
Hatinya yang hampa untuk pertama kalinya merasakan kehangatan musim semi. Seolah tak ada hari esok, ia menarik tubuhnya dan menjatuhkan bibirnya di atas bibir ranum Libiya. Libiya terkejut bukan main, namun ia berbohong bila ia mengatakan bahwa dirinya tidak menikmati hal ini.
Libiya menyudahi tautan itu setelah dirinya kehabisan pasokan oksigen. Dalam kepalanya, Hanafi bertanya-tanya, "Artinya?"
Semburat merah muda muncul di wajah Libiya, "Iya."
Hanafi tersenyum lebar, "Iya apa?"
"Pikir aja sendiri!" Libiya berjalan meninggalkannya.
Lelaki berpipi gembil itu mengejarnya, "Gue anggap iya!"
Sempurna. Misinya telah usai, bergantikan dengan misi baru. Yaitu, mengetahui lebih banyak hal tentang gadisnya. Benar, gadisnya.
"Lib! Don't tell mama about last night!"
"Never!"
#Poetry.
KAMU SEDANG MEMBACA
sepatah dua patah
Novela Juvenilstray kids ot8 | local au. disebut bagian satu jauh dari kata cukup, disebut prolog pun tak bisa.