SUBTIL | Bangchan ft. BLACKPINK's Rosè

7 4 4
                                    

SUDAH tahun 1992, tapi Chan masih benci mengakuinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SUDAH tahun 1992, tapi Chan masih benci mengakuinya. Mengakui bahwa dirinya masih menyukai Rosa, mengakui ia tak bisa melupakan hal yang membuat hubungannya berakhir kala itu, bahkan dirinya benci mengakui fakta di mana ia cemburu melihat keakrabannya dengan Jefri, orang yang membuat hubungan mereka hancur.

Ia paham betul, ketua kelas membentuk kelompok Sejarah ini bukan tanpa maksud. Memang, satu kelas mengetahui hubungan Chandra dan Rosa, namun tidak dengan alasan berakhirnya hubungan itu. Mereka berdua tertawa bebas, mereka terlihat sangat serasi jika dibandingkan dengan Chandra yang lusuh nan miskin.

“Lo kenapa diem mulu, Chan?” Pertanyaan yang dilontarkan Gilang mampu membuat dirinya menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada di rumah Rosa. Tak ramai memang, hanya ada Gilang, Jefri, Ayuna, Jihan, dan Rosa tentunya.

“Nggak. Saya cuma kepikiran sama keadaan di rumah aja,” tukasnya diiringi senyuman tipis.

Ayuna berdecak meski kepalanya sudah beralih ke buku yang dipegangnya, “Kalau cemburu itu bilang, Chan, dipendam begitu mana ada yang tahu.”

Kurvanya ia tarik kembali. “Sengaja, supaya nggak ada yang tahu. Materinya sudah ketemu semua? Mau saya rangkum,” tanyanya mengalihkan.

“Chan,” panggil Jihan sebagai ketua kelas, “kita semua tahu kalau lo dan Rosa itu pacaran dengan baik, dan kita juga tahu kalau hubungan itu sudah berakhir. Dengan senangnya, lo bisa kasih tahu semua orang kalau kamu pacaran sama Rosa. Tapi kenapa? Kenapa lo nggak kasih tahu siapa pun, bahkan temen sekelas lo alasan kenapa kalian putus? Memang nggak penting, tapi gue sebagai orang ketiga lihat kalian canggung pun nggak nyaman.”

Rosa menggenggam jemari Jihan, “Aku sama Chan—”

“Iya, nggak penting. Lagi pula kenapa kita jadi bahas itu? Kalau mau bahas itu lebih baik selesai kerja kelompok aja, saya nggak punya banyak waktu dan harus pulang lebih cepat.” Pengecut memang, inilah Chandra.

“Ah, terserahlah.” Jihan beralih menarik kertas yang tertumpuk di atas meja.

Jangan kemana-mana, tetaplah di sisiku, bahkan jika ia mengatakannya, itu sudah sangat terlambat. Ia mempunya 1 buku yang isinya hanyalah Rosa. Ia menggambarnya, semuanya tentang Rosa. Bahkan perubahannya yang tak ia sadari. Bodoh memang, tapi ia sangat ingin semuanya kembali seperti kala itu.

Katakan apa yang kamu lakukan? Ketika saya melihatnya, itu sudah salah. Itu kamu yang membuatnya jatuh ya. Benar-benar menyakitkan tatkala dengan lancangnya, dwi maniknya menyaksikan percumbuan panas di depan rumah sang Putri.

Saya ingin menyerah, tapi saya tak bisa ... namun pada akhirnya saya tetap menyerah. Bertahan bukanlah pilihan, sebab ia berada jauh di belakang Jefri. Hari di mana Rosa membohonginya, ia sangat ingat bagaimana skenario palsu itu dilontarkan oleh Rosa. Ia ingat dari awal hingga akhir, bahkan ia sangat ingat diksi yang dipakainya.

Terlepas dari itu, sepanjang malam ia tak bisa berhenti memikirkannya. Ia terus mencari kesalahan dalam dirinya, Apa yang salah dariku? Demi Tuhan, saya jauh lebih baik dari pada Jefri sialan itu, terkecuali soal uang ... benar, saya memang miskin.

Chandra sudah siap memanaskan motornya tatkala teman-temannya termasuk Jefri meninggalkan kediaman Rosa. Namun Rosa masih setia berdiri, menunggu Chandra.

“Chandra, ngobrol dulu, yuk?” tanyanya.

Sontak, pemuda berdarah Jawa itu menoleh, “Di mana? Jangan lama-lama, ibu sudah nunggu di rumah.”

“Ayo ke alun-alun sebentar.”

Lagi-lagi ia mengiyakan. Ia tak pernah menolak permintaan Rosa, bahkan ketika ia meminta mengakhiri hubungannya. Baginya, Rosa adalah seorang ratu dan dirinya hanyalah pengikutnya. Begitu pun pendapat ibunya tatkala dirinya menangis di bawah kaki sang Ibu setelah menceritakan hubungannya dengan Rosa.

“Aku minta maaf.”

“Sudah aku maafkan sejak dahulu. Aku nggak pernah marah, Rosa,” balasnya tanpa melirik sang pembicara.

Rosa tertawa kecil, “Nggak pernah berubah, kamu selalu begini. Kamu selalu bohong sama aku.”

“Lantas? Kamu mau menyalahkan aku perkara apa lagi?” balasnya kelewat emosi.

“Nggak, udah cukup. Semasa aku sama Jefri, aku menyesal. Jefri memang tajir, tapi dia nggak sebaik kamu. Dia nggak pernah bawa aku ke tempat baru, makan bubur ayam di tepi jalan, atau bahkan bercanda di antrian gulali. Aku kangen kamu.”

Chandra terkejut dibuatnya, “Jangan begini, Rosa. Tolong hargai dia karena dia pacar kamu.”

Ia menggeleng, “Semuanya sudah berakhir, Chan. Jauh sebelum kita menjadi asing.”

Bak tersambar petir di siang bolong, Chandra terdiam tak bergeming. Rosa menatap lurus ke depan, anak-anak berlalu lalang dengan layangan yang dibawanya. Jemarinya tertunjuk pada anak perempuan berkuncir 2 yang tengah menangis.

“Ingat? Aku pernah nangis waktu nggak bisa terbangin layangan. Tapi kamu ajarin aku sampai bisa. Aku kangen masa-masa itu, Chan,” jelasnya.

“Rosa, jangan bertele-tele, kamu mau apa? Aku sibuk.”

“Aku mau kamu berjuang buat aku bahkan di tengah kesibukan kamu lagi, persis kayak waktu itu,” jelasnya. Semua kalimat ini benar-benar ingin ia dengar darinya. Jauh dari dalam hatinya, ia sangat menginginkan Rosa kembali dalam dekapannya.

“Chandra, ayo kita balikan.”

#Poetry.

sepatah dua patahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang