gemintang: tidak berada di langit, tak pula berseri jika malam saja
haris janardana | hannah halmahera
ribuan bintang mulai tersulam di langit hitam yang menyelimuti malam. bertanda, bahwasanya haris harus pulang dan pergi ke alam mimpi. benturan antara kaleng-kaleng soda yang ada dalam plastik belanjanya menjadi latar suara malam ini bersama dengan tapak sandalnya yang bergesekkan dengan aspal. entah apa yang dicarinya, sedari tadi cagaknya tak berhenti menelusuri aspal yang nampaknya tak berujung ini.
langkahnya terhenti manakala benihnya menangkap sosok perempuan tengah bersandar pada tiang di depan pertigaan. dwi maniknya menyipit guna memastikan teruni itu manusia atau bukan. aneh rasanya jika melihat ada manusia yang berkeliaran semalam ini.
pengecualian dirinya.
terlihat, sang puan terduduk di sana. sontak, haris pun menggerakkan tungkainya untuk mendekat. tak ada maksud lain, ia hanya penasaran.
asap yang keluar dari ranumnya mengudara. batang nikotin itu setia terselip di antara telunjuk dan jari tengah milik haris. ia berjongkok—harap-harap bisa melihat rupa sang gadis.
“kenapa nangis?”
sang hawa mengangkat kepalanya. matanya sembab, pipinya basah tertimpa air mata, labiumnya tertekuk. haris sempat terkejut lantaran paras gadis ini kelewat luar biasa dibanding kecantikan sang rembulan.
cantik.
tak mendapat jawaban, haris kembali memutar otak agar tanya dalam kepalanya musnah satu per satu. “hei, jangan nangis. nanti bulannya redup, lho?” ujarnya.
“kenapa?”
“lihat bulan itu.” jemarinya tertunjuk pada benda angkasa yang ada di atas kepala mereka, “kalau kamu senang, bulan itu bakalan muncul sepenuhnya dan bersinar terang. kalau kamu sedih, bulannya cuma muncul setengah, 'kan?”
ia harap, kalimatnya bisa menghibur gadis itu walau terdengar tak mungkin.
“di neraka nggak ada bulan.”
sontak, haris menoleh dibuatnya. “maaf?”
puan itu menatap haris, “kita hidup di neraka 'kan? mana ada dunia yang sekejam ini? tuhan nggak mungkin bikin aktor atau aktrisnya sengsara. ini neraka. kakak percaya, 'kan?”
haris menghela napas dan meraih tangan sang hawa, “nama kamu siapa?”
“hannah,” balasnya.
“begini, hannah, kita masih ada di dunia, kok. tuhan tahu mana yang tepat untuk kamu. mungkin sekarang, kamu sedang terkurung dan kamu nggak tahu gimana caranya untuk keluar, 'kan?” tanyanya menuntut setuju.
ia menghisap batang rokoknya yang hampir habis itu kemudian lanjut berbeo, “sebenarnya, kamu nggak perlu keluar dan bebas. kamu hanya butuh waktu untuk menciptakan permainan kamu sendiri dan menikmatinya tanpa menghiraukan pemdapat orang lain. nggak apa kalau kamu bukan pemain yang handal, kita bisa karena terbiasa, itu pepatah orang zaman dulu.”
hannah tak melepas atensinya, sorot ainnya tak teralihkan dari sosok haris.
“kak. kakak orang baik?”
mendapat pertanyaan seperti itu, haris terdiam sejenak. pada detik selanjutnya, ia terkekeh. “baik atau nggak-nya saya, itu tergantung pandangan orang lain, hannah. menurut kamu gimana?” tanyanya balik.
kedua bahunya terangkat, “aku nggak kenal kakak.”
“mau percaya sama saya? kamu bisa cerita apa pun ke saya,” tawarnya.
tak heran jika hannah menolak. mana ada lelaki yang terlihat macam berandal yang benar-benar mau membantu seseorang? hannah jadi menganggapnya bagai orang jahat.
pandangannya ia arahkan ke sisi lain, “entahlah. setiap aku mau percaya sama orang lain, itu selalu nggak berakhir dengan baik. kakak pikir, kakak bisa jaga rahasia aku?”
haris mengangguk. “jangan panggil saya kakak, kayaknya kita satu sekolah.” netranya tertuju pada seragam yang masih melekat lengkap di tubuh hannah.
“oh, ya? ya sudah, nama kamu siapa?”
“haris. jangan sungkan buat cerita, saya bakalan mampir ke kelas kamu setiap hari,” janjinya.
mendengar itu, hannah pun tersenyum. hati haris menghangat walau ia tak tahu siapa gadis yang ada di hadapannya. meski begitu, sejak pandangan pertama, haris tahu bahwa hannahlah yang selama ini dicarinya.
haris mengantarnya pulang. selama perjalanan, mereka saling bertukar canda dan tawa, melupakan fakta bahwasanya mereka akan kembali ke rumah masing-masing. hannah pun memberi tahu apa yang membuatnya menangis di pertigaan jalan tadi, jua dengan haris yang menenangkannya dengan kalimat ajaibnya.
“haris, aku pulang.”
helaan napas keluar dari labium tebal milik sang adam. hasta lancangnya bergerak mengusap kepala teruni itu, “saya harap, saya masih punya banyak waktu buat ngobrol sama kamu.”
malam ini, bintang di angkasa tak mampu menyandingi cantiknya hannah. sebab bagi haris, hannah itu sangat cantik. baik dari parasnya maupun akalnya. gadis itu kelewat cerdas dan unik. ia bahkan bisa merubah emosinya saat itu juga.
haris mencintai hannah, bahkan sejak pandangan pertamanya.
#POETRY
satu lagi, changbin, ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
sepatah dua patah
Teen Fictionstray kids ot8 | local au. disebut bagian satu jauh dari kata cukup, disebut prolog pun tak bisa.