KIAMAT sudah dekat. Meski darah di dadanya berceceran tak tertampung, Ayden terus berlari, tak menghiraukan hiruk-pikuk yang menusuk telinganya. Yang ia cari hanya satu, Jihan. Napasnya terengah-engah. Meski Raden terus memakinya dengan kalimat yang tak pantas untuk didengar, kakinya terus melangkah melawan arus, hanya demi Jihan.
Aku akan memelukmu erat sampai aku tertidur. Bahkan di pagi hari saat aku bersamamu. Bahkan hari-hari ketika aku mengalami masa-masa sulit.
Tahun ini benar-benar sebuah kehancuran. Di mana manusia saling membunuh saudaranya sendiri. Anak Adam saling mengayunkan pedang dan meluncurkan panahnya, sedangkan Anak Hawa terus membekap luka rakyatnya dengan kain.
Jihan Gemintang, salah satu tim medis yang tengah dibawa ramai-ramai dengan tandu buatan menuju markas. Netra tajam Ayden menyadarinya. Maka dari itu, tak segan ia meninggalkan temannya dan memutar arah untuk kembali ke tempatnya. Sorak-sorak dari Raden, Chandra, dan Wira tak dihiraukannya. Pedangnya terjatuh tatkala netranya mendapati Jihan yang tengah terbaring dengan dwi maniknya yang tertutup dan dadanya yang terbalut kain putih.
"Jihan ..."
Maukah kau memelukku lebih erat? Maukah kau memelukku saat kita bersama? Jangan pergi kemana-mana. Tinggal bersamaku selamanya.
Direngkuhnya tubuh ringkih milik pemudi itu. Perlahan, Jihan menggenggan tangan kanan Ayden dengan jemarinya yang bergetar.
"Ayden ..."
Pemuda dengan rahang tegas itu melotot terkejut. Jihan belum mati! Maka selanjutnya, ia mengintruksikan orang-orang yang ada di sana untuk pergi keluar.
"Ayden, aku minta maaf! Sungguh! Aku minta maaf!"
Ayden tak mengerti. Apa yang sebenarnya ia rancaukan? Apa yang sebenarnya membuatnya bersikap seperti ini?
Telunjuk Ayden berada di atas bibir Jihan, "Sayang ... tenanglah. Katakan, ada apa?"
Tak kunjung bicara, Jihan justru mulai menangis. Melihatnya, Ayden kembali dibuat bingung. Keadaan di luar memang sangat penting, tapi ia menyempatkan dirinya hanya untuk mendengat kalimat dari perempuan yang dicintainya.
"Ayden ... aku sungguh minta maaf. Akulah Madu, akulah yang menulis surat itu."
Bak ditusuk belati, jantungnya terasa jatuh. Ia merasa dikhianati. Padahal, seluruh jiwanya ia berikan kepada Jihan, namun mengapa begini? Ini tak ada dalam lis harapannya.
Aku ingin membuatmu bahagia setiap hari. Aku ingin melakukannya. Aku akan memelukmu dengan hangat dan erat. Aku tidak akan membiarkanmu kehilangan senyum manismu.
Namun semuanya sia-sia. Semua hari-hari indah penuh perjuangan itu tak ada artinya.
Aku suka semua wajah tersenyum dan wajah menangismu. Hari ini aku ingin memelukmu, namun kau menusukku. Kepalaku penuh denganmu, memikirkanmu sepanjang hari, namun kau hanya memikirkan bangsamu. Bahkan sekarang saat kita bersama, maukah kau memelukku erat-erat? Bahkan di saat-saat sulit dan melelahkan. Kuharap tidak, sebab hatiku telah hancur tak berupa.
"Jihan, tolong kaukatakan itu sekali lagi. Tolong beritahu aku bahwa aku salah dengar. Tolong-"
"Akulah Madu. Norman adalah suamiku."
Demi Tuhan. Norman si Pria Bengis itu sangat beruntung mendapatkan perempuan cantik sekaligus munafik macam Jihan. Ayden benar-benar tak habis pikir dengannya, mengapa semesta sangat senang memberinya kejutan? Bahkan di keadaan yang mendesak seperti ini.
Aku akan berada di sisimu. Hari-hari sedih datang ke sisiku. Bersandarlah padaku, aku akan memelukmu dengan hangat dan erat. Tapi engkau malah memilik berbaring di atas padang paku.
"Jihan, tapi mengapa? Mengapa engkau lakukan itu semua, Jihan? Aku mencintaimu, bahkan lebih dari diriku sendiri!"
"Aku tahu! Maka dari itu, bunuhlah aku! Tusuklah jantungku dengan pedang perkasamu itu! Koyaklah tubuhku! Aku memang tak pantas untuk jatuh cinta padamu."
Sebuah memori melintas di kepalanya. Kala itu, Ayden pernah berkata bahwa dia takkan pernah jatuh hati pada perempuan yang ada di bawah kaki-tangan Norman, pantas saja sikap Jihan berubah 180° sejak hari itu.
"Musuh tetaplah musuh, kau adalah sepotong pengkhianat, Jihan, semoga kita dipertemukan kembali di kehidupan selanjutnya sebagai sepasang insan yang saling mencintai." Ia bangkit dan mengayunkan pedangnya ke arah dada Jihan yang sudah terbalut kain tadi.
"Sampaikan maafku pada rekanmu, Ayden."
Merah. Tubuh Jihan bersimbah darah. Pakaian yang dipakainya menghitam. Ayden menarik kembali pedangnya yang terlihat meneteskan titik-titik darah milik perempuan munafik itu.
Tirai di pintu masuk dikibas oleh Raden, menampilkan Raden dan Chandra dengan wajah yang berlumur darah. Lelaki bermata kucing itu menghela napasnya.
"Kupikir kau asik bercinta sampai tak turun ke lapangan," sindirnya.
Chandra menghampirinya lalu melihat keadaan Jihan yang sudah tak bernyawa. Ia menepuk bahu Ayden, "Merdeka. Kemenangan di tangan kita."
"Merdeka."
#Poetry.
KAMU SEDANG MEMBACA
sepatah dua patah
Teen Fictionstray kids ot8 | local au. disebut bagian satu jauh dari kata cukup, disebut prolog pun tak bisa.