#2 Fragment

53 4 0
                                    

                         "Every deceased friend is a magnet drawing us into another world."


Jika ketua menyuruhku untuk mendeskripsikan perjalananku menuju HQ pagi ini dalam satu kata, hanya ada satu kata yang dapat menembus lautan kata yang terpendam di memoriku. Langu. Yah, tidak secara harfiah. Secara metafora, itulah satu-satunya kata yang dapat terlantunkan oleh pita suara yang ku miliki. Lagipula, siapa yang mengharapkan adanya berita mengenai kematian salah satu teman seperjuangan pagi-pagi? Tidak ada, 'kan?


"Ngapain, sih?!" Ah, lagi-lagi adik yang menyebalkan menggerutu lagi. Peka, dong. Kakakmu ini sedang dalam tahap shock.


Untuk sementara waktu, tidak ada sepatah katapun keluar dari bibirku. Sepasang manik biru langit yang terpasang di wajahku masih saja terkunci di layar besar milik kota yang tengah memutar rekaman berita mengenai aksi pemberontakan. Lagi-lagi, aksi pemberontakan. Kini, aksi menjijikan mereka memakan biaya seorang korban jiwa. Tragisnya, 'seorang' tersebut adalah seorang temanku dari HQ. Memang, kita beda divisi. Memang, aliran pekerjaan kita berbeda. Namun, perasaan perih yang dirasakan oleh kawan-kawan satu divisinya telah bersinggah di hatiku. Betapa nyerinya perasaan ini.


"Na, kamu masuk divisi mana?" Tanpa kusadari, pertanyaan keluar dari kotak suaraku. Apa aku khawatir akan jalan mana yang diputuskan untuk adik?


"Hng? Divisi? Maksudmu apa?" Ini adik bodoh dibuat-buat atau dari sananya bodoh? Dasar bodoh.


"Bukannya kamu sudah dikirimi e-mail oleh pihak kepolisian tadi pagi?" Diingat-ingat kembali, nampaknya adik tidak membuka Qryzt berisi informasi penting mengenai divisinya. Toh, dia 'kan tukang kebo. Jangan sampai dia masuk divisi yang sama dengan temanku yang sudah meninggalkan dunia ini untuk selamanya.


"Eh? Benarkah? Aku tidak mengecek e-mail tadi pagi." Ujarannya yang terselimuti oleh perasaan tak berdosa benar-benar terdengar menggelikan di telingaku. Dari sananya bodoh, pasti.


Tak ada niatan di benakku untuk menanggapi perkataannya. Toh, itu hanya akan membuang-buang waktu kita di tengah jalan yang belum ramai ini. Sebelum ia bersiap-siap, tapak tanganku sudah menggerakkan speedometer dengan cara memicu gas motor kesayanganku. Seperti yang kuduga, jeritan akan dikumandangkan oleh adikku ketika tiba-tiba aku menancap gas.


"KYAAAAAA!!!" Sepertinya setelah kerja, aku harus menyumbangkan sebuah kunjungan kepada dokter THT di klinik terdekat.


Tak hanya hal yang kuduga yang terjadi, hal yang tak kuduga pun ikut serta. Di dalam kalkulasiku, kedua tangan adik hanya akan memeluk punggungku dengan renggang, sehingga ia dapat menjaga postur punggungnya yang tegak. Kini, entah berantah atas alasan apa, kekuatan yang dikeluarkan oleh tangannya jauh lebih besar dibandingkan dengan yang sebelumnya. Saking besarnya, dadanya yang- -harus kuakui- cukup besar tersandar begitu saja di permukaan seragam yang membungkus punggungku. Canggung? Menjijikkan? Mengganggu? Memang iya, namun entah mengapa . . .




Aku menyukainya.


                                                                                                          *****

everlasting sunset.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang