#3 Fragment

50 4 2
                                    

                                                                   "Life hurts a lot more than death."



Wow. Hanya satu kata itulah yang terbersit di benakku kala sepasang manik zamrud milikku menyaksikan tiap sudut ruangan yang tengah aku tempati ini. Tak kusangka, sebuah mabes mampu memiliki sebuah aula semegah ini. Meski zaman sekarang sudah benar-benar maju, nampaknya orang-orang masih menggandrungi aula berhiasan serba emas. Kandil berhiaskan kristal, tirai sutra coklat berumbai, karpet berwarnakan marun, kurang mewah apa coba? Itu saja, hanya bagian ruang tunggu. Iya, ruang tunggu. Ruang yang tengah aku diami selama menunggu namaku untuk dipanggil ke atas panggung di ruangan utama oleh entah-siapapun-dia yang nampaknya menjabat jabatan cukup tinggi di sini. Yang penting, sebentar lagi pasti namaku dipanggil. Bagaimana aku bisa menyimpulkan demikian? Mudah, tinggal tiga orang yang tersisa di ruangan ini—termasuk aku.


"Accursio Sonata, bukan?" Tanpa sebuah peringatan, sebuah suara menusuk gendang telingaku yang sedaritadi hanya menangkap keheningan yang membalut suasana canggung di ruang tunggu.


Tepat setelah kepala milikku kugerakkan ke sumber suara, kedua benik penglihatanku melebar ala kadarnya. Astaga, darimana seorang insan setampan dirinya mampu mengetahui namaku?! Ah, aku lupa. Zaman sekarang mah, apa sih yang tidak mungkin? Kerja tanpa perlu bangun tidur, kali.


"A-Ah, iya. Bagaimana kau bisa tahu namaku?" Alhasil, corak suara yang terlantun keluar oleh pita suaraku terkesan canggung. Canggung ala salah tingkah. Ekhem.


"Mudah saja, tinggal meretas data dari Qryzt milik Jenderal Besar." Penyunggingan pun dilakukan oleh bibir tipis milik sang lelaki di hadapanku setelah ia berhasil menuntaskan kata-katanya dengan lancarnya.


Tunggu, apa aku tidak salah dengar? Meretas? Oke, dia gila. Baru pertama kali ini dari seluruh hidupku aku mendengar istilah 'meretas data bos' dari seorang karyawan. Jangan sampai aku harus berurusan dengan dia untuk ke depannya. Meski ketidakrelaan akan terus bersemayam di dalam benakku atas keputusanku barusan, mau bagaimana lagi? Toh, tampang tampan tak mempan untuk membuatku melenceng dari keputusanku sendiri.


"H-Hah?! Manusia macam a—"


"Cukup, Nixon. Tak perlu bermain-main dengannya sekarang. Masih terlalu cepat." Lagi-lagi, suara asing tertangkap dengan sempurna oleh gendang telingaku. Namun, kali ini berbeda. Timbre suara tersebut khas milik seorang perempuan, jangan sampai kalkulasiku yang selalu tepat ini meleset hanya dalam hal sepele ini.


Walaupun aku merasa sedikit kesal akan fakta bahwa kata-kataku dipotong oleh suara asing tersebut, aku merasa lega. Mengapa? Suara asing tersebut berhasil menjegal emosiku yang hendak memuncak. Helaan nafas terselip keluar dari bibirku sebelum suara tawa meledak begitu saja. Tak usah bertanya-tanya, gelegar tawa tersebut sudah pasti milik sang pria di depanku. Otomatis, kerutan kecil nampak dengan jelas di keningku sebelum sosok orang ketiga—sumber suara asing tadi—muncul dari belakang lelaki tersebut. Tanda tanya di benakku semakin bertambah kala tatapan dingin sang gadis menerjang diriku.


"Tica nggak seru, ah! Padahal sudah hampir berhasil ngerjain dia, nih." Tutur sang pria di tengah gelak tawanya yang cetar membahana. Hah? Ngerjain? Berarti . . .

everlasting sunset.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang