"Just when the caterpillar thought the world was over, it turned into a butterfly."
Abu-abu. Begitulah warna yang mendominasi penglihatanku kala aku berhasil mendapatkan kembali kesempatanku untuk memeriksa situasi di sekitarku. Kerusakan mata? Pft, yang benar saja. Masa iya, ditindas reruntuhan langit-langit dapat menyita penglihatan sempurnaku? Tak mungkin, mengingat kondisi fisikku yang melebihi kondisi fisik adikku sekalipun.
Benar saja, setelah tanganku yang sudah mulai berlumuran darah berhasil mengambil kendali atas Qryzt milikku yang seharusnya merekam kejadian berharga adik, penglihatanku kembali jelas wal alfiat. Mungkin momentum yang menghantam tubuhku dapat dikatakan cukup untuk merusak aktivitas merekamku. Mengingat reruntuhan yang tengah menghimpit badanku ini dapat dikatakan sangat berat, hal tersebut tak bisa aku elak.
"S-Siapapun, tolong aku—" Begitulah kata-kata pertama yang aku dengar setelah 'pertunjukan' dari sang tamu-yang-tak-diundang itu berakhir.
Tanpa penundaan lain, aku segera mengerahkan seluruh tenaga yang masih tersimpan di tubuhku. Tertopanglah runtuhan langit-langit itu yang sedaritadi bersandar di kedua pundakku dengan kedua tapak tanganku, tersingkirlah pula puing-puing menyebalkan itu.
"Kkh—" Tanpa aku sadari, suara ringisan terselip keluar dari kotak suaraku. Tak kusangka, tertimpa reruntuhan seperti itu mampu menurunkan staminaku.
Mau tak mau, hal tersebut harus aku singkirkan dari skala prioritasku. Kedua kakiku mulai melangkah dengan perlahan namun pasti, ke arah sumber suara—yang terdengar cukup familiar di telingaku—yang masih menyerukan pekikan minta tolong.
Benar saja, itu Atticus.
"Y-Yo." Sapa Atticus yang kedua kakinya tengah terjepit puing-puing itu dengan lemah, diiringi dengan senyuman khasnya yang terkesan keren.
"Dasar lemah, dasar payah." Omelku seraya kedua tanganku yang sudah berubah warna berkat darah segarku yang berasal dari luka di kedua pundakku.
"Maaf, terima kasih." Adalah apa yang diutarakan oleh Atticus setelah ia berhasil berdiri—dengan bantuanku tentunya.
Tak ada sepatah katapun yang terlantun keluar, berkat penampakan tiga manusia yang tengah memacu sepasang kaki mereka entah ke mana. Tak salah lagi, salah satu manusia tersebut adalah adik. Sontak, pikiranku memasuki tahapan hampa kala aku menonton aksi ketiga pemula itu dalam mengadili otak dibalik terorisme ini.
"Bro, kamu nggak nyusul adikmu?" Tanya Atticus yang tengah memeriksa luka di kakinya itu kepadaku yang baru saja terbebas dari lamunanku.
". . . Tidak penting." Balasku dengan singkat padat jelas sembari mengedarkan pandanganku seantero ruangan yang sudah dipenuhi oleh tubuh-tubuh yang terlantar. Entah dengan nyawa atau tidak.
"Kita punya pekerjaan di sini." Tambahku kepada Atticus yang baru saja selesai dengan lukanya yang nampak biasa saja—bagiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
everlasting sunset.
RomansaApa jadinya bila sebuah jiwa milik seorang perempuan yang tak percaya akan 'cinta sejati' tak akan bisa diterima di alam baka jikalau ia belum bisa menemukan arti cinta itu sendiri? Lahir kembali, lahir kembali, begitu seterusnya. Di kehidupannya ya...