"Lalu, apa masalahnya? Aku yang menolak hidupku ini, jadi apa yang aku terima kedepannya nanti sepenuhnya adalah urusanku."
- Yogi Kusumajaya-| 6 |-
Dirinya termenung tak bersemangat.
"Hah ...."
Di bangkunya, Yogi menghela napas panjang. Entah sudah yang keberapa kalinya ia membuang oksigen dengan sia-sia begitu.
'Bosannya,' batin Yogi menatap punggung teman-teman sekelasnya.
Saat ini kelas sedang menunggu guru pelajaran berikutnya untuk masuk kelas. Jadi, nampak jelas para murid telah berhamburan dari bangkunya masing-masing untuk berbincang riang dengan temannya yang lain. Kecuali dengan Yogi yang terlihat diabaikan. Tapi bukan berarti ia merasa kesepian juga. Karena memang tak ada untungnya bagi Yogi untuk berteman dengan orang-orang lemah seperti mereka.
Tatapan Yogi tiba-tiba jatuh ke arah Yulia yang terlihat berusaha berbincang akrab dengan Vella.
'Mahkluk anak itu ...,' batin Yogi berpangku dagu, dan menepuk-nepuk pelan pipinya dengan jari telunjuknya. '... ia jadi jarang menampakkan diri setelah berhadapan denganku beberapa hari yang lalu ....'
Ia berdecak lidah pelan.
"Tidak asik sama sekali." Gumamnya.
"Selamat pagi, anak-anakku!!"
Semua penghuni kelas Sadewa seketika menoleh bersamaan ke arah pintu kelas. Dimana di sana, sesosok wanita yang mungkin berkisaran umur 20 tahun keatas dengan mata sipit serta memiliki rambut hitam legam lurus sebatas telinga, muncul tiba-tiba. Senyum lebar terlukis jelas di bibirnya yang berhias lipstik. Melihat kehadiran wanita itu, seluruh murid yang sebelumnya tak berada di bangkunya, secepat mungkin langsung kembali ke bangkunya. Mengetahui gelagat kekanak-kanakan tersebut, sang wanita hanya tertawa pelan sambil melangkah menuju meja guru yang ada di depan kelas.
"Melihat kalian panik begitu saat guru tiba-tiba datang, membuat saya ingat semasa sekolah dulu," komentar si guru perempuan di balik meja gurunya. Ia meletakkan segera tas yang dibawanya serta buku absensi kelas yang akan diajarnya.
Sementara itu, di bangkunya, Yogi terlihat diam memperhatikan gurunya yang ada di depan kelas tersebut.
'Loh? Guru ini, 'kan ....' Batin Yogi teringat. Dan benar saja. Di aplikasi sekolah, memang tertera namanya yaitu-
"Walau saya yakin kalian telah mengenal saya di pertemuan pembagian asrama, tapi saya akan tetap kembali memperkenalkan diri," ujar sang guru memotong pemikiran Yogi, "saya Christina Sandra, saya adalah pengajar mantra supranatural atau kami, para ahli supranatural lebih sering menyebutnya sebagai Dungo. Dungo itu sendiri jika diindonesiakan dapat diartikan sebagai doa."
Christina berbalik menghadap papan tulis sambil membawa spidolnya. Menuliskan satu kata yang akan menjadi topik pembelajarannya hari ini.
"Tapi faktanya, Dungo tak lebih dari barisan syair yang ditulis oleh para penyair pada zaman nenek moyang. Syair dari Dungo sendiri itu bersifat sakral, tidak bisa sembarangan diucapkan begitu saja karena bisa memiliki maksud atau arti yang berbeda," lanjut Christina lagi tanpa memandang para muridnya. Ia masih sibuk menulis apa saja yang perlu ditulis dan diketahui murid-muridnya. "Yah ... kurang lebih Dungo ini hampir sama dengan surah yang bisa memiliki arti atau maksud berbeda jika kita salah dalam pengucapannya. Dan jika ada yang putih, tentu ada juga sesuatu yang hitam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garda
FantasíaSekolah Garda merupakan sekolah swasta yang mengajarkan hal supranatural kepada muridnya sebagai materi utama mereka. Tentu itu adalah sesuatu yang aneh, bukan? Namun di Jawarta, itu adalah perkara umum. Adiwira ialah salah satu murid yang diterima...