03. Gelisah

29 5 2
                                    

"Ini yang di Rinjani kemarin?"

Tangan Ifa memegangi garpu yang baru ia tusuk ke koloke ayam. Mereka berada di sebuah restoran china dekat kawasan apartemen Ifa. Mata perempuan itu berada pada layar ponsel Bima yang sengaja ditunjukan oleh laki-laki yang duduk di sampingnya.

Bima mengangguk. "Keren ya?" Bima kagum sendiri dengan hasil foto mengabadikan pemandangan puncak Rinjani yang ia idamkan sejak lama.

Ifa mengangguk kecil. Memasukan koloke ayam ke mulut, sedang matanya tidak lepas dari layar ponsel Bima yang masih menunjukan foto-foto lain. "Ini keren nih, Kak." Ifa berkomentar ketika foto danau di kelilingi bukit-bukit dan pepohonan yang memanjakan mata. "Ini di atas?"

"Namanya Danau Segara Anak. Iya di atas." Dahi Bima berkerut mengingat perjalanannya. "Sekitar 2000-an mdpl, kalau gak salah."

"Kok bisa ada danau di atas?"

"Kebentuk gara-gara letusan Gunung Rinjani." Bima menatap Ifa yang diam menyimak dirinya. "Tahun 1257, lo belum lahir. Jadi nggak ngerti."

Ifa mendengus. "Kaya dirinya udah lahir aja."

Bima tersenyum simpul, tangannya bergerak untuk menyingkirkan beberapa helai rambut Ifa yang jatuh ketika perempuan itu menunduk untuk menyuap mie goreng. "Oh ya, tadi balik jam berapa?"

"Jam tiga-an," balas Ifa menutup mulut dengan punggung tangan.

Alis Bima terangkat naik. "Bukan jam empat?"

"Hm?" Tangan Ifa berhenti di udara pandangannya beralih membalas tatapan Bima.

"Lo bales chat gue jam empat."

"Oh... mandi dulu, Kak. Lupa nggak langsung ngabarin."

Bima mengangguk, memutus pandangannya pada Ifa dan menyuapkan koloke ayam ke dalam mulut. Dua menit ke depan mereka habiskan menikmati tiga menu yang dipesan, koloke ayam, mie goreng, dan nasi goreng.

Bima tidak terlalu lapar dan Ifa sedang ingin makan dari banyak menu, jadilah mereka sharing.

"Tapi—"

'Tadi—"

Keduanya saling bertatap sedetik sebelum sama-sama mengalihkan pandangan, geli sendiri.

"Tapi apa?"

"Tapi... kok lo jarang foto sih Kak, maksudnya— orang-orang kan pada gila foto kalau naik gunung."

"Gue foto kok."

"Iya bareng-bareng kan? Yang sendirian gitu, kayaknya cuma beberapa deh."

Bima mengingat, dia memang nyaris tidak pernah foto sendiri jika bukan Faisal yang menyuruhnya dan kebenyakan Bima tidak mau. Memilih asik mengabadikan pemandangan di sekitar. Instagram Bima juga kebanyakan isinya foto-foto pemandangan dibanding wajahnya.

"Gak tau. Lebih seru motoin pemandangan aja dibanding foto diri sendiri. Lagian... gue jadi bisa nunjukin fotonya ke lo Fa, sambil cerita."

Ifa menatap laki-laki yang rambutnya sedikit lebih panjang. Ia baru sadar rambut Bima tumbuh lebih cepat, padahal baru dua minggu perempuan itu mengantarkan Bima untuk pangkas rambut di Barber Shop— atau bisa lebih disebut potong rambut sebab Bima hanya memendekan rambut gondrongnya.

Ifa mengulum senyum. Hatinya menghangat. Sekuat hati ia menahan ujung bibirnya agar semakin tidak tertarik sempurna atas ucapan Bima.

Dan Bima jelas tidak menyadari perubahan wajah Ifa. "Tadi jadinya ke mana?" Bima melanjutkan pertanyaan yang tertunda. Sepanjang Bima mengantar Ifa ke parkiran tadi, perempuan itu mengatakan lupa nama tempat yang dikunjungi dan tidak yakin juga tempat itu adalah pemberhentian pertama mereka.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 09, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

JeratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang