Hujan turun deras dari langit kota Versaile, membuat Xaira menggigil kedinginan tapi tak memiliki apapun untuk ia kenakan sebagai penghangat. Di tahun kedua sekolahnya, di SMA Nataraya, ia tidak memiliki teman dekat yang mungkin akan berbaik hati mengajaknya duduk bersama sambil membicarakan gosip terhangat sepekan terakhir. Nggak ada juga yang akan memberikannya jaket hangat agar ia tidak semakin kedinginan
Di lorong koridor sekolahnya, ketika semua murid diizinkan berada di luar sebab badai yang diprediksi akan datang membuat pihak sekolah memutuskan memberi libur selama 2 hari. Xaira berdiri di pinggir koridor, menatap rintik-rintik air yang semakin besar. Hujan semakin deras, Xaira pikir ia pasti kesulitan menemukan bus untuk pulang ke rumah. Belum lagi saat berada di depan gerbang ia akan menunggu sendirian seperti orang bodoh.
"Bel sudah berbunyi, its time to go home!!" seru beberapa murid di lorong koridor. Berbondong-bondong mereka keluar dari area dalam sekolah, menuju gerbang yang sudah terbuka.
Tubuh kecil Xaira terjatuh akibat tabrakan keras yang dilakukan seorang anak laki-laki. Namanya Mike, cowok pem-bully di kelasnya yang memang suka sekali menjadikan Xaira target. "Gunakan matamu untuk jalan, ikan kecil."
Teman-teman Mike tertawa mendengar kalimat itu. "Ikan kecil?"
"Ya, aku menyebutnya ikan kecil. Mudah sekali membuatnya jatuh. Dia sangat lembek, tidak bertenaga."
"Kurasa dia lebih seperti.... Selembar kertas tisue."
"Hey, itu terlalu manis untuknya," sahut teman Mike yang satunya.
"Aku tak yakin dia akan sampai ke rumahnya dengan selamat di tengah hujan badai begini. Dia bisa saja tertiup angin dan melayang-layang terbang ke sana kemari, hahaha. Mengenaskan." ejek Mike lagi.
"Kuharap kau bisa bertahan di cuaca seperti ini ikan kecil," tambah teman di sebelah Mike yang berbadan tinggi menjulang.
"Gunakan siripmu untuk bertahan," imbuh lainnya. Membuat Mike semakin terkekeh.
Sementara Xaira berusaha berdiri, memasang wajah dingin tak berekspresi. "Terserah kalian saja, bocah-bocah bodoh!"
"Kau yang bodoh!" Mike tak terima.
Xaira tak acuh. Dia mengambil langkah seribu untuk pergi dari hadapan Mike yang gila.
Xaira memeluk tasnya untuk melindungi ponsel yang ada di dalam. Jika ponsel ini rusak terkena air, ia tidak punya uang lagi untuk membeli yang baru. Apalagi berharap pada orang tua yang sudah tidak ada. Bukan meninggal, mereka hanya menitipkan Xaira pada pamannya agar Xaira kecil tidak merepotkan mereka. Singkatnya, mereka tidak mau bertanggung jawab penuh atas kelahiran Xaira yang tidak diinginkan.
Di tengah hujan badai, Xaira bahkan nggak tau yang mana air mata dan mana air hujan. Keduanya menyatu dengan baik seperti sahabat. Ia sedih menyadari hidupnya di dunia tidak ada siapa-siapa untuk diandalkan. Ketika satu persatu mobil di jalan melewatinya begitu saja tanpa berniat mengajaknya naik, Xaira cuma bisa menahan rasa iri. Andai aku punya Kakak, andai aku punya saudara, andai ayahku menelpon untuk menjemput, andai pamanku sedikit lebih peduli..
Xaira cuma berandai-andai. Ia nggak bisa menyalahkan takdir Tuhan akan hidupnya. Sudah suratan baginya menerima kehidupan kelam dan kesepian seperti ini. Ia tidak memiliki banyak harapan kepada manusia. Dirinya hanya memiliki diri sendiri sebagai penopang. Hingga kemudian kakinya terkilir, lalu ia terjatuh di sebuah jalanan basah yang tiba-tiba mengalirkan aliran deras bak air terjun.
Xaira mengusap matanya panik, di depan.. di jarak beberapa meter dari posisinya berdiri—dilihatnya seorang bertubuh biru berjalan cepat seperti vampire di film-film, yang membuatnya tertarik untuk menyusul. Siluet makhluk itu dari kejauhan terlihat secara kasat mata seperti makhluk mitologi — atau apalah itu sebutannya.
"Who are you?!!" jerit Xaira kepada orang itu. Bahkan menyebut dia orang saja Xaira ragu.
"Hey, Who are you?" jerit Xaira semakin kencang. Lalu makhluk itu menoleh ke belakang, matanya berwarna kuning kebiruan, telinganya panjang ke atas dan rambutnya panjang terkepang kecil-kecil. Secara penampilan dan wajah, dia bukan manusia.. Tapi secara kelengkapan anggota tubuh.. Dia sangat mirip manusia. Lalu nggak lama, Xaira merasa sesak napas.
Tepat ketika hujan berhenti lalu langit menampakkan cahaya matahari redup dibalik pepohonan. Xaira merasa dunia yang tadi ia pijaki berubah alam.
"Dimana sih ini?" Xaira menahan sesak saat bersuara.
"Kau siapa?" tanya makhluk itu kepadanya. Tapi Xaira semakin tidak kuat, tubuhnya semakin kekurangan oksigen.
"Mungkin kau sekarang berada di dunia mimpi. Kembalilah pulang, di sini bukanlah tempat dimana seharusnya kau berada."
"Lho, memangnya aku dimana?"
"Tidur saja, dan kau akan kembali ke duniamu."
"Maksudmu dunia dimana aku tinggal sendirian tanpa siapapun?"
Makhluk itu menatapnya dalam, langkahnya semakin dekat seperti seolah mereka berada di jarak satu meter. Dan anehnya, saat ia mendekat, tinggi makhluk itu semakin menjulang. Nyaris dua kali tinggi Xaira.
"What are you?" meski napasnya semakin sesak, Xaira masih nekat bertanya.
"I said, go back to your planet, human!" tekan makhluk itu sedikit dengan emosi.
"Human? Maksudmu aku manusia? Gimana kalau sebenernya aku bukan manusia... Gimana?"
Makhluk itu tersenyum miring. Tapi anehnya, di mata Xaira senyuman itu terlihat... Indah..
Siapa gerangan makhluk ini dan apa jenisnya. Xaira tidak merasakan takut sama sekali. Ia lebih takut akan presensi Mike dan teman-teman gilanya yang suka sekali membully.
"Kalau kau bukan manusia lantas apa? Malaikat? Bunda Agung? Eywa?"
"What is that? Bunda Agung? Eywa?" Xaira tertawa kecil. "Ngomong apaan sih? Aneh?!"
"Pulanglah. Tempat ini nggak aman!"
"Emangnya ini tempat apa? Hik.. Aku tadi kehujanan, terus kakiku terkilir lalu aku jatuh dan tiba-tiba berada di tempat ini. Aku melihatmu, aku mengikutimu lalu aku merasa sesak napas dan aku... Hik..." Xaira megap-megap. Dalam hati ia bertanya..
Apa aku beneran ikan? Kok aku nggak bisa napas di udara.
"Apa aku... Beneran.... I... Kan??" mata Xaira memerah, pertanda ia sudah menahan napas cukup lama. Makhluk biru di depannya itu dengan cepat merangkul tubuh lemah Xaira lalu mengguncangnya kuat. "Hey human, bangunlah!"
Nggak lama, makhluk itu tersadar.
Bukankah akan lebih baik manusia ini menutup matanya? Dengan begitu ia bisa kembali ke dunia manusia lagi dan bukan berada di Pandora.
Lalu seperti yang diharapkan, Xaira betulan menutup mata, hilang dan lenyap dengan sangat cepat.
Neteyam terdiam selepas Xaira tak lagi ada dalam rangkulannya.
Sementara Xaira terbangun dengan wajah pucat di tempat tidurnya. Ia bangkit berdiri lalu mencari ponselnya di dalam tas.
Benda itu masih ada, masih menyala menampilkan jam dan beberapa pesan operator telepon.
Jam 20.00 waktu malam. Xaira membuka jendela demi melihat jejeran bintang di langit yang cantik. "Apa bener tadi ada hujan? Seharusnya jika langit sedang banyak menyimpan bintang begini, berarti nggak pernah ada hujan sebelumnya."
Xaira menatap kosong hembusan angin di luar jendela.
"Ternyata benar-benar cuma mimpi."
KAMU SEDANG MEMBACA
The world is ours | Neteyam
FanficXaira hanya ingin keluar dari belenggu rasa sepi yang ia rasakan sejak kecil. Suatu hari, ia tiba-tiba terhubung dengan planet asing bernama Pandora melalui koneksi misterius yang datang dari bunga tidurnya. Bertemu Neteyam--salah satu penghuni plan...