18. Ketika semuanya dimulai

339 55 3
                                    

Tubuh Xaira terhuyung jatuh dan terduduk di sebuah ruangan kosong dengan latar serba putih, dirinya menerka-nerka tentang apa yang terjadi dan berada dimanakah ia saat ini. Terlepas dari pengawasan keluarga Sully seutuhnya membuat ia cukup ketakutan. Nyaris saja ia berpikir akan dibunuh hidup-hidup oleh beberapa orang bertubuh tinggi besar layaknya Tentara perang berwujud manusia itu, jika saja tidak ada seorang wanita paruh baya yang memasuki ruangan dan membuat Xaira jadi lebih tenang.

"Turunkan senjata kalian, dia tidak berbahaya!" ujar wanita itu.

Serentak senjata-senjata para tentara turun dan mereka memilih berpamitan tak lama setelah diberi kode untuk pergi.

Kini tinggalah Xaira berdua dengan si wanita, berbicara dengan suara yang tenang bak riak danau.

"Hey, sweety, how are you?" wajah itu berseri-seri bahagia, yang membuat Xaira justru mengekerutkan keningnya.

"Apa yang kau tanyakan? Kabarku?"

"Ya." melihat wujud Xaira yang tinggi besar, berwarna biru dan sangat asing tak ayal membuat Arletta merasa sangat terusik. Ia mendekati anaknya lagi, terus berjalan sampai jarak mereka hanya sejengkal. "Kembalilah dalam wujud manusia…" 

Suara lembutnya seperti mantra sihir, begitu tenang membius Xaira sampai matanya terpejam. Dan untuk sesaat ia merasa bingung dan tak bisa mengucap banyak kata-kata, bibirnya terkunci. Kemudian muncul cahaya berkilauan mengelilingi tubuhnya, membuat Xaira berputar-putar. Lalu yang terjadi, warna di tubuhnya berubah kembali seperti sedia kala. Seperti saat ia berwujud manusia biasa.

Xaira jatuh lagi terduduk di lantai, mengais pasokan udara yang tercium aneh di hidungnya. Zat-zat karbon monoksida yang berbahaya hampir-hampir membuat dadanya sesak dan napasnya tercekik. Beruntung wanita itu langsung memasang masker oksigen di wajahnya agar Xaira bernapas lagi.

"Jangan khawatir." Xaira berada dalam pelukan, dibelai lembut dengan jemari tangan Arletta yang hangat. "My baby….." 

Bibir Xaira bergetar tatkala ditanyakannya apa maksud panggilan sayang wanita itu kepadanya, yang sejujurnya menciptakan ikatan batin di antara mereka. Xaira tak ingin berasumsi macam-macam, apalagi menganggap dia ibu.

Mungkin dia hanya sekedar wanita biasa yang hendak melancarkan tipu daya.

"I'm your mother, sweety. I'm sorry for coming late towards you."

Xaira langsung dibuat terkejut akan pernyataan itu, dirinya bangkit berdiri sambil menunjuk wanita itu dengan satu jari. "You are my ... Mother?"

Seolah tahu isi hati Xaira yang jauh lebih banyak menyimpan rasa kecewa dan marah dibanding rindu, Arletta hanya bisa menangis menyaksikan ekspresi di wajah Xaira yang berubah. "Maafkan aku."

"Kau bilang apa? Ibu? Tak mungkin." Xaira menggeleng-geleng. "Apa aku pernah memiliki ibu sebelumnya? Kau yakin kau betulan ibuku?"

"Kemarilah." dengan tegas digenggamnya erat sebelah tangan Xaira, diajaknya duduk berdua di pelataran kursi. Sesaat ada ketenangan yang tercipta pasca mereka duduk berdua di jarak yang sangat dekat. Arletta mulai bersuara, menceritakan isi hatinya.

"Kau anakku. Maaf ibu sudah meninggalkanmu selama belasan tahun demi sebuah misi penting. Aku tahu terlalu banyak cerita yang kau lewatkan tanpa aku, terlalu banyak kesedihan hingga air mata mewarnai hari-harimu selama aku tidak ada. I knew it, Daughter. I knew...."

"Kalau kau tau, kenapa kau masih pergi?"

"Itu keharusan yang tak bisa kuhindari. Kau dan aku, kita besar di alam yang berbeda. Baik kau maupun aku memang sudah seharusnya terpisah. Tapi satu hal yang harus kau tau, aku tak pernah melewatkan satu detik pun perkembanganmu. Saat kau tertawa, saat kau mulai memiliki teman pertama dalam hidupmu, saat kau menangis, saat kau mengalami masa-masa remajamu, semuanya. Semua perkembangan tentang dirimu aku. Aku memantaunya dari jauh walau aku tak bisa benar-benar berada di dekatmu."

The world is ours | Neteyam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang