7. Perlawanan

331 68 10
                                    

Perjalanan pulang menuju desa Awa'tlu diupayakan seberani yang Neteyam bisa dengan menunggangi ikran miliknya. Pun kendati ia berada di belakang Xaira, memandu sambil membisikkan kata-kata penguat agar si anak manusia tidak ketakutan, jiwa lemah Xaira tetap saja dipenuhi rasa cemas.

"Burung ini tadi namanya apa?"

"Ini bukan burung!" koreksi Neteyam, entah sudah keberapa kali.

"Iya, maksudku.. si burung yang bukan burung ini namanya apa? Maaf, sepertinya aku lupa."

"Lebih baik memang dilupakan. Di desa yang baru mereka akan sangat jarang sekali kami tunggangi."

"Lho, kenapa?"

"Kau akan tau setelah kita tiba di sana," bisik Neteyam tepat di telinga kiri Xaira, membuatnya menoleh sambil mengulum senyum tipis. "Dan jangan tersenyum begitu, kau sudah berubah menjadi alien biru. Tidakkah seharusnya kau marah pada Eywa?"

"Kenapa harus marah dengan wujudku yang sekarang? Aku sudah memimpikan perubahan ini terjadi sejak pertama kali aku melihat kau. Lagipula, aku merasa jauh lebih cantik dengan warna tubuhku yang seperti ini," ujarnya sambil menolehkan sedikit kepalanya ke depan wajah Neteyam.

Lelaki itu diam, sekadar mendengarkan.

Ikrannya berbelok ke kanan, berhasil melewati pegunungan kembar yang masih tampak mengagumkan bila dilihat dari dekat. Pergerakan Ikran tadi sempat membuat jantung Xaira mau lepas, sebab Neteyam memberi arahan lewat pikirannya tiba-tiba.

"Tolong jangan membuatku kaget, Neteyam. Kalau kau berbelok arah, bilang! Jiwaku ini masih terjebak dalam tubuh manusia!" Xaira protes.

Seolah tak bergeming, Neteyam semakin leluasa memberi perintah pada Ikran-nya agar lebih cepat terbang.

"Tuhkan tuhkan! Kau mulai lagi. NETEYAM, jangan terburu-buru. Ya Tuhan, aku mau mati! Ini lebih parah daripada wahana tornado di Disneyland. Jantungku bisa lepas!"

"Kau harus terbiasa dengan hal-hal yang mengejutkan, human. Itulah perbedaan antara dunia kami dan duniamu," kata-kata itu tak dapat membuat Xaira setuju. Wajahnya tertekuk.

Begitu dilirik sekali lagi, wajah tenang Xaira berubah panik. Di ketinggian yang setara dengan awan, kira-kira sampai ratusan kaki, kekuatan angin yang kencang mampu menerbangkan jiwa manusia Xaira hingga ia merasa seperti mayat hidup. Dia tidak bicara apa-apa lagi, nampak berusaha pasrah atas apapun kehendak Neteyam.

Demi nama Tuhan yang ia sebut-sebut dalam doa, Xaira berharap kebaikan Neteyam selama ini tidaklah palsu. Xaira sama sekali tidak mau beranggapan bahwa Neteyam sengaja menunggangi Ikran dengan kecepatan super agar ia mati muda. Sungguh, Xaira nggak sedang memikirkan kemungkinan seburuk itu. Tapi semakin lama mereka terbang, Xaira semakin curiga.

"Kalau niatmu ingin membunuhku perlahan, kenapa tidak kau lakukan dari awal kita bertemu?" teriaknya frustasi.

"Siapa yang mau membunuhmu?"

"Kau! Kau orangnya!"

Terdengar kekehan tawa dari bibir tipis Neteyam, mengundang kepala Xaira menoleh. "Kau masih bisa tertawa??"

"Memangnya kenapa?" saat ia bertanya begitu, kepala Neteyam semakin maju. Dagunya bersandar di pundak Xaira, memangkas jarak kian tipis. Bisa ia rasakan punggungnya bersentuhan dengan dada bidang milik si lelaki, seakan tengah dipeluk dengan penuh kasih. Hadir pula suara debaran jantung yang terdengar beriringan dengan angin berhembus. Saling berlomba memompa rasa gugup Xaira semakin hebat.

Mana kepanikkan yang tadi menyerangnya? Mana rasa takut yang sudah berada di ujung tanduk itu?

Dasar manusia haus kasih sayang. Sekadar dipeluk saja, hatinya langsung damai.

The world is ours | Neteyam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang