Chapter 05 | Can We..?

76 51 150
                                    

❝Aku tertawa ketika mengingat pernah menangisimu, tapi aku menangis ketika mengingat pernah tertawa bersamamu.❞

Sudah hampir dua jam pelajaran kulewati semenjak jaket milik Garvin melingkar sempurna di pinggangku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sudah hampir dua jam pelajaran kulewati semenjak jaket milik Garvin melingkar sempurna di pinggangku. Ruangan bernuansa putih gading dengan aroma khas obat-obatan menyeruak indera penciuman. Aku menghela, sedikit malu ketika suara berat laki-laki itu terdengar tadi.

Pandanganku menerawang langit-langit ruangan kesehatan. Potongan-potongan memori hampir membuatku kehilangan kesadaran. Aku memang merindukannya. Bukan dia yang sekarang, tetapi dia yang dulu. Bukan sikapnya yang sekarang, tetapi sikapnya yang dulu. Bagaimana cara dia menatapku meskipun dingin, tapi, aku tahu betul tatapan yang di pancarkannya berbeda ketika anak itu melihat banyak orang. Bagaimana cara dia berbicara tidak karuan, mengucapkan kata-kata yang manis ketika anak itu sedang mabuk di unit miliknya. Bagaimana cara dia berkata terus-menerus dengan lancar dan cepat sehingga aku tidak sempat menyela, saat bibir tebalnya mendeskripsikan kegirangannya ketika kedua orang tuanya sedang berada di rumah megah miliknya.

Ah, sudahlah... aku membencinya.

"Kenapa berubah sih, Vin... "

Kalimat singkat itu tertahan keluar dari bibirku, hanya sanggup kuucapkan dalam batin, mungkin hanya paru-paru, ginjal, dan juga empedu yang mendengarkan.

"Starla?"

Tirai berwarna biru muda bergerak terbuka kala suara berat seseorang menggema ke seluruh ruangan. Dapatku lihat sosok bertubuh tinggi memandangku penuh arti, tatapannya seolah membuatku terkunci pada dua benih kelam miliknya.

"Kamu kenapa?" Dia bertanya setelah hening beberapa saat.

"Hah?"

"Kamu sakit?"

"Ah, nggak... eh, iya, gue... nggak enak badan aja,"

"Sudah ambil obat?"

"Belum sih,"

"Tamu bulanan ya? Mau saya belikan di koperasi?"

"Eh?"

"Tunggu sebentar, biar saya belikan aja."

Langit keluar dari ruangan kesehatan sedikit tergesa-gesa, dapat kulihat dari pantulan pintu kaca. Dan apa tadi? Dia bahkan berpendapat secepat itu tentang yang kurasakan. Aku menggeser mataku, menangkap sebercak noda merah pada lengan jaket milik Garvin yang menjuntai di atas lantai. Cepat-cepat aku menyembunyikannya di bawah bokongku. Ah, aku paham mengapa Langit bertutur secepat itu tadi. Aku sudah menghubungi Marsha untuk mengantarkan celana olahragaku yang berada di loker. Tapi, sudah sekitar lima belas menit, tak hanya celana berbahan katun itu yang muncul, batang hidung gadis bersurai sebahu itu pun tak menampakkan dirinya juga.

Hampir sepuluh menit sudah berlalu, pintu kaca ruangan itu kembali terbuka lebar, lalu otomatis tertutup ketika sosok laki-laki memunculkan dirinya. Langit dengan sekantung plastik hitam yang tak kuketahui apa isinya.

DONGENGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang