Chapter 08 | It Was Then

89 54 260
                                    

❝Dia menatapmu karena dia punya mata, bukan karena suka.❞

Aku mengenal Garvin saat pelantikan murid baru di SMA Pranaja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku mengenal Garvin saat pelantikan murid baru di SMA Pranaja. Sosoknya begitu mencolok meskipun ratusan siswa berjejer rapi di sampingnya. Tampang datar, hidung mancung, rahang tegas menjadi ciri khas darinya. Saat masa orientasi siswa, anak itu tidak pernah terlihat sama sekali. Sehingga saat pelantikan pada Kamis pagi, seluruh angkatan dibuat takjub oleh pesonanya.

Garvin Arsenio Pranaja.

Putra tunggal dari keluarga Pranaja. Keluarga yang banyak diidam-idamkan khalayak ramai. Sukses dalam segala bidang. Baik itu bidang ekonomi, bidang pendidikan maupun bidang kuliner. Pranaja Groups bagai bagian penting bagi dunia industri. Tak heran jika di seluruh daerah, mau itu daerah padat ataupun daerah terpencil, nama Pranaja Groups terpampang gagah mendominasi.

Setelah satu hari dari masa pelantikan murid baru, pengumuman untuk kelas pun sudah terpajang rapi di mading seluruh lantai. Banyak dari mereka berdesak-desakan untuk melihat apakah nama mereka terhimpit dari salah satu nama yang beruntung. SMA Pranaja menerapkan dua sistem mengajar. Jika prestasi memenuhi kriteria, mereka akan berada di kelas unggulan. Sedangkan jika prestasi mereka minim, mereka akan berada di kelas reguler.

Aku yang notabenya cukup sadar diri memilih untuk melihat mading yang berada di kelas reguler.

Tidak ada.

Dan betapa terkejutnya aku saat Marsha memberitahu bahwa namaku terperangkap disalah satu kelas unggulan kedua. Dan, lebih terkejut lagi saat tahu bahwa kami berdua berada dikelas yang sama.

Aku mengenal Marsha saat hari pertama pengenalan lingkungan sekolah. Sosoknya yang ramah dan periang membuatku nyaman saat bersamanya.

Tak lama dari hari itu, seolah dunia berporos padaku, aku menjadi topik terpanas saat lapangan bola basket disulap menjadi taman bunga kecil-kecilan. Tulisan 'want to be mine, Starla Anindya?' memenuhi lapangan.

Tidak ada angin dan tidak ada hujan, cucu pemilik sekolah berhasil menumbuhkan ribuan kupu-kupu didalam perutku. Degup jantungku semakin berdetak tak karuan saat sosok gagah miliknya berada dihadapanku membawa seikat bunga mawar putih yang sudah dihias cantik.

Semenjak saat itu aku resmi menjadi pacarnya.

Dua tahun berlalu. Bagaimana sifat dan wataknya aku menerimanya, mengabaikan sakit yang kurasakan. Keras, pemarah, seenaknya, pemberontak, kuabaikan segalanya. Seolah semua buruknya tertutup begitu saja saat satu lengan besarnya melingkar sempurna di pinggang rampingku. Dia bahkan tidak pernah tersenyum saat bersamaku. Tampang galaknya selalu terpajang sempurna dengan rahang tegas dan kedua netra setajam elang.

Namun, sepertinya dunia tak ingin lagi melihatku menitikkan air mata karena ulah laki-laki itu.

Aku masih mengingat jelas bagaimana anak itu membenci rasa manis dan whipped cream pada kue yang kuberi saat ulang tahunnya ketujuh belas tahun. Dan saat usianya menginjak genap delapan belas tahun, aku bermodalkan brownies cappucino dengan cigarette bouquet nekat menemuinya di markas geng motornya untuk memberikan kejutan.

DONGENGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang