Chapter 09 | A Little Story About...

94 60 302
                                    

❝Dari dia aku belajar, dari takdir aku disadarkan.❞

Saat tangan kananku hendak menutup gagang pintu utama, aku sempat berfikir untuk membalikkan badan dan tidak jadi masuk kedalam rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saat tangan kananku hendak menutup gagang pintu utama, aku sempat berfikir untuk membalikkan badan dan tidak jadi masuk kedalam rumah. Tubuhku tegang rasanya, hatiku berdebar dengan gila. Diujung tangga terakhir, sosok pria berusia setara dengan Mama menatapku, satu sudut bibirnya tampak terangkat.

Kedua kakiku semakin bergetar lemas, seolah tak berfungsi saat tungkainya melangkah pasti ke arahku.

Sunyi. Rumah minimalis dengan dua lantai peninggalan keluarga Mama seperti tak berpenghuni saat itu. Meskipun setiap hari sepi, tapi kali itu benar-benar mengerikan rasanya.

"Hai, calon anak.... abis pulang sekolah ya?" Om Harry menyapa tepat di hadapanku, senyumnya merekah menghiasi wajah seramnya.

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Ingin rasanya marah tak menerima saat pria itu mengucapkan kata keramat yang tak kusuka, seolah mengejek diriku yang kalah telak dengan keputusan Mama untuk menikah dengannya.

"Dina lagi keluar, Kean nggak di rumah," Om Harry menanggapi, mungkin dirinya melihat gerak-gerikku yang menjelajahi sekeliling rumah. "Cuma ada kita berdua, Papa sama calon anaknya," Perkataan Om Harry selanjutnya berhasil membuat bulu halus di lenganku berdiri. Mengerikan sekali.

"Cuma Mama yang mau kehadiran Om di sini. Aku sama abang-abang nggak pernah mau, jadi, jaga batasan Om," Peringatan dariku dibalas senyum miring dari bibir tebalnya.

"Oh, ya? Kalo Dina tau, lo ngomong gini sama calon suaminya, gimana yaaa?" Cibir Om Harry, raut wajahnya penuh kebahagiaan saat menangkap kegugupan yang menyerangku.

"Bilang aja, gih! Di tampar? Di jelek-jelekin? Udah biasa kali! Jadi, jangan berharap kalau Om bisa gantiin posisi Papa di rumah ini," Aku sempat ragu mengatakannya, terutama ketika mengingat sosok Mama yang sering menamparku saat beradu argumen. Namun, perkataan itu lolos begitu saja sehingga sosok di depanku saat itu mengambil ancang-ancang untuk kembali melangkah lebih dekat.

Satu tangannya berhasil mengapit bibir mungilku. Cengkramannya tidak kuat tetapi cukup membuatku merintih. "Lo, gue diemin lama-lama makin ngelunjak ya!" Aku jelas menunduk, tak seberani itu menatap matanya. Rahangnya mengeras, urat-urat disekitar dahi dan jari-jari nya timbul tak beraturan. "Masih mending Dina kasih waktu buat lo, buat pikiran pernikahan kami berdua."

"Bisa aja gue suruh tuh emak lo, yang nggak seberapa itu, buat ngusir lo dari sini,"

"Kalo lo nggak mau jadi anak gue, mending lo jadi istri kedua gue setelah Mama lo, gimana?"

Plak!

Tangan kananku bergetar hebat setelah mendarat di pipi kasar pria itu. Tamparan itu tak pernah terlintas di pikiranku. Tamparan itu terjadi begitu saja di bawah kehendakku.

Kedua tangan Om Harry sudah terlepas dari wajahku sesaat setelah tamparan tadi. Dia menatapku tajam, air mukanya tak terbaca sama sekali. Lalu...

Plak!

DONGENGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang