O1| Sekolah

41 11 6
                                    

Pagi itu ada suara ketukan pintu yang mengalun sendirian. Udara di luar masih sangat sejuk, beberapa menit lalu rintik-rintik kecil jatuh dari langit fajar, kali ini awal hari lebih berseri, seolah memberi semangat bagi mereka yang ingin memulai kisah hari ini.

Setelah mengetuk pintu beberapa kali, Nadi berdiri di depan kamar yang tertutup untuk menunggu respon dari anak laki-laki di dalam sana.

"Rasi? Sudah bangun? Kamu nggak lupa,
'kan, hari ini kamu mau masuk sekolah?" Akhirnya Nadi bertanya setelah sekian lama dia hanya mendapat senyap.

Sudah enam tahun lamanya Rasi tumbuh di rumah megah ini bersama Nadi. Meskipun awalnya Nadi benar-benar tak terbiasa mengurus anak, juga sesekali ceroboh dalam menjaga Rasi, bahkan waktu itu dia juga kesusahan mengatur waktu, selain karna kuliah, dia harus mengurus cafenya yang masih baru buka.

Namun, semakin lama itu semua sudah menjadi kebiasaannya. Membangunkan Rasi, membuatkan sarapan, memandikan, menemani tidur, begadang ketika anak itu terbangun di tengah malam, dan banyak hal lain yang kini seolah sudah menjadi bagian dari hidupnya sejak awal. Bahkan dia sempat lupa dengan rasa sulit mengurus Rasi, seolah-olah dari pertama Rasi lahir Nadi sudah pandai mengurusnya.

Bukan hanya berperan menjadi ibu dan ayah sekaligus, namun Nadi juga harus siap menjadi teman bagi Rasi. Anak itu memang memiliki kepribadian manis pada semua orang, namun tak semua orang juga dapat menerima kehadirannya.

Nadi tak keberatan sama sekali, semuanya dia lakukan tulus dari hati. Baginya, menjadi ayah untuk Rasi adalah obat untuk segala beban yang dia pikul.

"Rasi?" Nadi memanggil lagi.

Ceklek.

Pintu kamar itu dibuka, Nadi menunduk untuk melihat Rasi yang sudah rapih dengan seragam sekolah merah putih.

"Selamat pagi." Dia tersenyum ramah.

Nadi berlutut, mengelus surai anak itu dengan sayang. "Selamat pagi juga. Pintar anak ayah. Pake bajunya sudah rapih padahal baru pertama kali."

Rasi hanya terkekeh mendengarnya. Senyumnya seperti matahari fajar, hangat dan dingin di saat yang bersamaan, sejuk jika di lihat dengan benar-benar. Bukan hanya soal lesung pipi yang samar-samar, tapi dua netra jernih itu seolah ingin mengingatkan Nadi dengan seseorang.

Mereka berdua lalu turun kelantai bawah untuk sarapan. Sebenarnya ini masih terlalu pagi, Nadi niatnya tadi ingin membangunkan Rasi dan membantunya memakai seragam, namun ternyata anak itu sudah rapih lebih dulu.

Di sela-sela sarapan mereka, Rasi tiba-tiba berhenti mengunyah makanannya. Dia menatap sang ayah yang duduk di depannya fokus dengan sarapan. Anak itu lalu turun dari kursi dan duduk di samping Nadi yang langsung menyadari kehadirannya.

"Kenapa?" Nadi menaikkan alis.

Rasi menunduk ragu, menatap sepatu yang dia pakai dengan sendu. "Rasi takut sekolah," ucapnya tanpa memandang Nadi.

Nadi mengerutkan kening. "Kenapa Rasi takut sekolah?"

Rasi semakin dekat dengan ayahnya, tumbuhnya hampir terjatuh karna jarak kursi yang tercipta sedangkan dia berusaha untuk bersembunyi di balik lengan pria itu. "karna kalau sama Rasi, orang lain jahat. Di sekolah kan banyak orang, Rasi takut."

Nadi menghela nafas, dia mengelus surai Rasi yang masih tak mau menatapnya. Biasanya jika seperti ini maka anak itu sedang menangis.

"Rasi nggak perlu takut, kamu itu anak yang baik, anak baik akan bertemu dengan orang baik." Nadi tersenyum, dia dengan pelan mengangkat kepala Rasi.

"Kalau Rasi ketemu sama orang jahat?" Rasi menghapus air matanya.

"Berarti Rasi perlu menunggu agar orang itu jadi baik, kalau seseorang menyadari sifat kita, maka orang itu juga akan berubah. Entah menjadi lebih baik, atau semakin buruk. Karna itu kita harus memperlakukan orang-orang dengan baik." Jelas Nadi dengan sorot lembut yang kini selalu Rasi pandang. Nadi sampai terkekeh, dia menepuk-nepuk pundak sempit itu dengan lembut.

Harapan Di Ujung HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang