BAB 2 METROMINI OREN

6.9K 284 13
                                    

"Minta Dipta hold meeting saya pagi ini, Sarah. Saya ada urusan di luar, nggak bisa datang ke kantor." Saga bicara sambil menengok ke sana-kemari, "Nanti kirim laporan meeting ke saya."

"Baik, Pak. Ada lagi yang lain, Pak?"

"Nggak ada. Itu aja," Ia menemukan seseorang yang dicarinya. "Udah dulu, ya. Kalau ada hal penting langsung kabarin saya."

Saga segera menutup telepon saat orang itu berjalan ke arahnya. Kiyara benar-benar seperti preman pasar dengan handuk mengantung di leher, topi yang dikenakannya sengaja dipasang terbalik. Astaga, perempuan itu nampak lebih buruk dari perjumpaan pertama mereka beberapa hari lalu.

Saga menghela napas.

Tipe idealnya memang perempuan sederhana, tapi mana ia sangka bila sebentar lagi akan menikahi perempuan yang definisi sederhananya di bawah rata-rata.

Andai Raisa tidak bertitah aneh-aneh, Saga yakin ia tidak akan senekat ini.

"Kenapa dah ngeliatin gitu? Cantik ya, gue?" Kiyara menghempas pantatnya di kursi kayu panjang, persis sebelah calon suaminya yang kaya raya. "Eh, saya, ya? Boleh nggak sih kalau manggil gue aja? kaku banget saya. Dulu tuh ya, bahasa Indonesia gue nilainya enam. Alias gue nggak ada pinter-pinternya bahasa baku. Kalau baku hantam baru gue pinter." Perempuan berusia kepala tiga itu tergelak sendiri, mengepal tinju. "Keren nggak, gue bisa mukul orang kayak Mike Tyson. Wuuuh!" Satu tinjuannya mengenai lengan Saga, tapi tidak bereaksi apa-apa pada pria itu.

Sial.

Kiyara dipermalukan.

"Gerah banget dah nih hari." Ia melepas topi, mengipasi lehernya. "Lupa lagi gue nih pake handbody, merah lagi dah kulit gue."

Ini waktu yang tepat bagi Saga menilai lebih dekat wajah calon istri sewaannya. Panasnya terik matahari di siang bolong, meninggalkan butir peluh di dahinya yang lebar. Kulitnya terbilang putih, bahkan sangat putih, matahari sampai tidak sanggup membuat kulit itu belang, pipinya tembam hanya sedikit memerah bila tersengat terik. Tidak ada polesan bubuk pewarna seperti wajah wanita kebanyakan. Kiyara tidak seanggun itu. Tapi justru wajah tanpa riasan itu yang bikin berkali-kali ia terlihat lebih menarik.

Saga mengerjap-ngerjap. Menggeleng buru-buru. Menolak fakta ia baru saja memuji paras cantik wanita yang duduk di sampingnya.

"Kamu narik sampai jam berapa pagi ini?" Ia bertanya, kembali ke niat awal kedatangannya.

"Au, dah. Bentar lagi sih kayaknya. Nunggu penumpang penuh noh," Perempuan itu menunjuk salah satu angkutan besar berwarna oren yang terparkir berderetan dengan angkutan sejenis. Ia mengipasi lagi wajahnya yang gerah dengan topi hitam. "Lu kenapa pagi-pagi ke sini? Mau ngapain?"

"Soal diskusi kita yang tertunda waktu itu. Saya-"

"KIYARA!"

Seruan keras dari kejauhan itu terpaksa memotong pembicaraan mereka.

"Aduh! Gue kayaknya suruh jalan lagi, dah. Besok-besok aja ngobrolnya, ya? Nggak apa-apa, kan?" Kiyara buru-buru memakai lagi topinya, bangkit dari kursi. "Lu balik aja dulu sekarang, deh. Ntar gampang gue yang nyamper ke kantor lu lagi."

Mata Saga membesar. Tanda ia sangat tidak setuju. Satu jam ia menunggu di bawah terik matahari dan seenak jidat wanita ini memintanya pergi. Saga tidak segan-segan menunjukkan kejengkelannya.

"Kita perlu bicara, Kiyara. Sekarang. Hari ini."

"Iye, gue tahu. Kan gue bilang tadi ntaran-"

"KIYARA!"

Seruan keras itu lagi-lagi memutus pembicaraan mereka.

"Bawel amat dah itu bocah, ampun." Kiyara mengembuskan napas. Merasa tidak enak hati pada pria di dekatnya yang mukanya mulai masam. "Lo kalau mau ngobrol ikut gua aja, narik. Gimana?"

SewaPacar.comTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang