Siapa yang bilang kalau Jendral tidak pernah salah? Semua itu bohong, nyatanya ketika sang Jendral sedang berkunjung ke rumah abadi, beliau mengeluarkan satu pulpen yang amat bersejarah menurutku. Selain warnanya yang unik, bentuk pun amat berbeda. Mungkin kalau dijual di pasaran, pulpen itu merupakan salah satu jenis yang amat langka. Bahkan, akan jauh lebih mahal dibanding dengan yang mahal dan terkesan bagus.
Walaupun tidak sebenapa rupanya, tetapi bagi Jendral pulpen itu sangat berharga. Entah bagaimana cara mendeskripsikannya lebih rinci, yang aku tahu, rumah aetelah rumah itu pasti akan datang.
Percaya atau tidak, ketika kaki tak lagi sanggup untuk melangkah, mereka akan berteduh pada bayang pohon besar meski di tepi jalan. Tidak sekadar menyeka keringat yang tumpah, tetapi menenangkan hati dan pikiran di saat semua orang tak lagi bisa dipercaya untuk diam.
Menunggu mereka berhenti berkata memang tak bisa, karena seseorang memiliki hak penuh atas apa pun yang mereka rasa benar. Iya, kunjungan lepas akan kembali terbuka saat tinta sang Jendral mendarat di atas kertas berwarna putih tulang. Keras suara mereka menggema seakan ruangan padat itu benar-benar kosong tanpa huni.
Langkah, lepas, lalu berhenti. Sepertinya hanya itu yang dilakukan, karena mereka bosan membuat ribut dengan lawan tak sebanding. Mereka diam, lalu memisahkan diri dari keramaian. Berharap akan ada ruang paling sunyi di antara ribuan ruang yang tersedia.
Nyatanya, pesawat lepas landas saja masih bisa jatuh tanpa jejak. Sementara Jendral yang meninggalkan jejak melaui tinta merah yang tertera di sudut kertas dengan nyala, Jendral bersuara.
"Beruntung atau tidak, itu bukan kegagalan apalagi kebanggaan yang harus di perlihatkan di depan publik. Perbuatan sementara hanya nantinya pasti akan terjebak dalam situasi, saat ragamu tak lagi bergerak. Tubuh dingin, wajah pucat, semua akan terlihat biasa saja."
Tak ada rumah singgah yang paling sempurna selain rumah abadi. Bagga dengan kepastian, tapi kecewa dengan kepercayaan. Lagi-lagi jejak malas melanda ibu Pertiwi. Sekali lagi, jendral telah pergi, menyisakan banyak tanya dalam benak.
Perhitungan dengan ketidak yakinan hanya akan membuat luka yang paling dalam. Sebisa apa pun kamu berkata, sekeras apa pun kamu bersuara, tetap akan kalah dengan penyamun yang berkhianat pada kepala besar. Cukup diam, meski menderita.
"Lagi, Sas?"
Dua puluh menit itu seakan lama, saat suara Elvano kembali hadir di sela sunyi menyapa. Aku hanya menoleh, kelam dunia malam, sama seperti hati yang retak, sedikit di sentuh pasti akan hancur. Gigit jari saja kalau gitu, malas bersuara, kan?
Aku diam saja, tapi Elvano tetap membabibu membuat suara aneh di dekat telingaku.
"Apa?" tanyaku. Dia terkekeh, lalu bersandar di bahuku membuatku merasa aneh melihatnya.
"Jendral mana lagi yang lagi ganggu pikiran lo, Sas?"
Benar juga, aku diam sejenak untuk mencari penjelasan yang sebenarnya tak akan pernah lepas dari kehidupan.
"Jendral yang pernah berjuang mempertahankan rasa hormat dan kepercayaannya, aneh nggak, sih?"
Elvano terdiam. Apa pun yang aku pikiran, semua tentang luka lalu. Tak akan pernah padam, meski telah berlalu.
✨✨
Hai, terima kasih telah berkunjung, salam manis Prasasti.
Publish, 20 Januari 2023
YOU ARE READING
Bukan Prasasti ✅
Mystery / ThrillerKita pernah ada di masa lampau, tetapi kita tidak pernah menjadi manusia yang sama seperti dulu. Namun, jika roda kembali berputar, apakah masa sekarang akan tetap ada?