Penghormatan Terakhir

7 0 0
                                    

Julukan Macan putih yang melekat kuat di dada, tentu membuat siapa pun akan takut untuk berhadapan langsung. Bukan berarti tidak tahu apa pun, bahkan selalu terbesit di benak untuk menghukum  siapa pun yang menyajikan alam atas kematian Jendral besar yang begitu tangguh.

Kini, langkah kaki yang terlihat tegap dan gagah itu telah tumbang di sisi penjagaan yang mulai melonggar. Membiarkan para sekutu masuk dan menghabisi sebagian besar pasukan elit yang berjaga.

Tidak untuk saat di mana semua orang saling berpegangan tangan dan mengusap keringat yang membasahi wajah. Tidak juga dengan ucapan pelopor yang membangun semangat muda siap tempur dalam waktu dekat.

Di sini korbannya hanya satu, penghormatannya pun hanya sekali, tetapi napasnya terbagi berkali-kali agar dapat dirasakan oleh semua orang. Dia, panglima besar  kuat yang mampu menembus lawannya dengan tangan kosong. Namun, akhir telah mengajaknya berhenti untuk tidak menyisakan luka lagi di manapun tempatnya.

"Prasasti tewas, kapten kebanggan semua oasukan telah menjadi tameng untuk melindungi kami, Pak."

Pejamkan mata, begitu perintah seorang yang cukup dekat dengan nama yang melambung itu. Kepal tangan yang melonggar menjadi saksi kalau sebenarnya hanya jasad, bukan ruh yang berpulang. Menjadi akhir dari setiap langkahnya, justru menyisakan duka paling dalam di anatara semua pasukan, hanya satu yang menjadi penguat dikala orang-orang mulai lelah bertahan.

"Sebelum aku melihat jasadnya, jangan katakan apa pun di hadapanku."

"Tapi, Pak?"

Sebelah tangan yang terangkat sempurna menandakan kalau dia sangat malas mendengar kebohongan lagi. Terakhir kali, hal yang sama telah menjadikannya budak galau yang menangisi kepergian palsu.

Napas panjang terdengar samar, tapi sebuah tandu tergeletak setelahnya. Mata terpejam dengan pakaian lengkap juga bau amis yang menyeruak masuk ke dalam penciumannya.

"Lapor! Sabtu, 23 Januari 2020. Kapten Prasasti  Gading Pamungkas, tewas di perbatasan pukul dua dini hari."

Salah seorang pasukan memberi hormat tepat di hadapan wakil pimpinan mereka. Mata itu kembali terbuka lebar. Tak ada air mata, tak ada senyum, dan tak ada amarah yang terlihat di wajah itu.

Hanya Hela napas cukup panjang yang berembus saat laporan yang dilontarkan itu usai.

Semua topi yang dikenakan itu terlepas dari kepala mereka, menunduk dengan sikap istirahat di tempat. Mengisyaratkan bahwa penghormatan terakhir benar-benar terjadi di depan matanya.

"Lo udah berjuang sampai di titik ini, Sas. Makasih untuk semua nasihatnya. Kami, sebagai panglima jubah hitam, akan terus bertahan sampai waktunya tiba."

Sebelah tangan yang menyentuh sebelah pipi yang dingin itu membuatnya bergetar. Walau sudah mempertahankannya, butiran itu tetap melintas bebas tanpa permisi.

"Lo, orang paling kuat yang gue kenal. Selamat jalan, dan kami pasti akan terus berjuang."

Kembali menjelma menjadi sosok yang berbeda, nyatanya tidak menjadikan itu sebagai kenyataan. Pada akhirnya tegur manis yang membuatnya teraentak berhasil melepaskan sebuah tawa.

"Sas?"

Iya, itu hanya mimpi, sebenarnya aku tak mengerti dengan ucapan Elvano yang akhir-akhir ini selalu sedih. Bahkan tak nampak senyum yang melintas di bibir tipisnya itu.

"Apa? Kenapa lo lihat gue kayak gitu?"

Elvano menggeleng, seperti ada yang disembunyikan, tapi apa?

"Sabtu, gue berharap penjagaan di hari itu selalu baik-baik aja, ya."

"Pasti, udah nggak usah dipikirin, gue sendiri yang akan maju buat menjaga perbatasan, nanti."

Sepertinya ucapanku sedikit aneh didwngar oleh Elvano. Setelahnya dia berpamitan pergi dan meninggalkanku seorang diri dalam kegelapan.

"Ada apa sebenarnya?"

🍁🍁

Hai, terima kasih sudah berkunjung salam manis Prasasti.

Publish, 4 April 2023

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Publish, 4 April 2023

Bukan Prasasti  ✅Where stories live. Discover now