Keesokan harinya, Jayden pikir dia akan menemukan Jece setidaknya masih berbaring di tempat tidur.
Namun jauh dari ekspektasinya, Jece sudah bangun dengan wajah segar; mungkin dia sudah cuci muka dan mengganti perban, anak itu bahkan sudah duduk bersila sambil memakan makanan rumah sakit lengkap dengan tangannya sudah bebas dari jarum infus.
Mulutnya penuh oleh makanan, namun tak menghalangi dia untuk tersenyum.
Sangat aneh, Jece malah tampak seperti bukan dia yang biasanya.
"Ah, gue pikir udah mati. Soalnya nggak bangun-bangun!" Ucapnya dengan jenaka, berniat menyinggung Jayden yang masih mengumpulkan nyawa.
"Sarapan lo di nakas, kata perawatnya harus dihabiskan." lanjutnya lagi sambil menunjuk makanan di atas nakas sebelah tempat tidur Jayden.
Sementra itu, Jayden tak langsung menanggapi karena sibuk mengikuti arah yang Jece tunjuk; lalu sontak bergidik ngeri melihat bubur putih dengan toping ayam rebus, lalu ada sayuran--yang entah apa dan potongan buah di sana.
Belum makan saja dia sudah mual.
"Lo bisa makan semua ini?"Jece mengangguk cepat, lalu menyelesaikan acara makannya.
"Of course! Gue bukan pemilih makanan."He said.
Jayden menatap dengan tatapan meremehkan, karena semua yang keluar dari mulut Jece malah terdengar seperti dusta.
"Ugh ..."
'Kan! Belum semenit Jece mengoceh tentang dia yang bukan pemilih makanan, Jayden sudah melihat anak itu bergegas ke toilet untuk mengeluarkan makanan di perutnya.
Mendengar suara muntah bukannya ada inisiatif membantu, Jayden malah tertawa kencang; bahkan ketika Jece keluar dengan wajah memerah dan mata berair, Jayden masih belum bisa berhenti tertawa.
"Of course! gue bikin pimilih mikinin. Iya percaya! Percaya banget gue." Ucap Jayden masih dengan sisa-sisa tawanya.
Jece tak menjawab, dia langsung tengkurap pelan-pelan di sofa laku membenamkan wajahnya di sana; sedikit berhati-hati karena tak mau terlalu menghempas bahunya.
"Mati gak lo?" tanya Jayden, agak khawatir juga dia. 'kan jadi sangat dosa kalau Jece benar-benar kesakitan, sementara dia tertawa tak berprikemanusiaan.
"Yeah, what kills me makes me feel more alive." Saut Jece tanpa perlu mengangkat wajanya dari benaman ke sofa.
Hal itu lantas mengundang tawa Jayden lagi, lalu dia beranjak sambil mendorong tiang infunya menuju kamar mandi.
"Bunda mana?"
Jece tak menjawab, lalu Jayden cepat-cepat mau membenarkan ucapannya ketika sadar kalau hal itu mungkin bisa menyakiti hati Jece.
"maksudnya bunda gue-""Iya tau, mama gue kan udah meninggal. Ini lagi mengingat nih, tadi katanya kemana ya?"
Jayden menggigit bibir bawahnya, lalu tak berkomentar apa-apa; membiarkan Jece berucap lagi.
"Ah iya! resepsionis kayaknya; soalnya mau urus administrasi dan Janu bisa pulang hari ini."
Jayden mengangguk lalu benar-benar masuk ke kamar mandi.
"Okay, thanks."Jece tak membalas lagi setelahnya, dia lantas beranjak mencari-cari ponsel dan dompet; namun tak bisa menemukannya dengan mudah. Ah, hal seperti ini akan memaksanya berteriak menanyakan pada Jayden, namun dia tidak akan melakukannya.
Hari ini dan selanjutnya, Jece hanya ingin mengandalkan diri sendiri saja.
Tidak pilih-pilih makanan juga salah satu usahaya, dia tentu harus bisa makan apa saja untuk bertahan hidup, bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Valley of Lies
FanfictionSetelah ibunya meninggal, Jece tak punya pilihan selain bertahan dan mengorbankan segala miliknya. ©HimawariNa | Valley of Lies 2023