Chapter 12

990 111 34
                                    

Jece, maafin ayah. Ayo kita bicara, soal Niki, soal kamu. Ayah butuh bantuan kamu nak.

Adalah sederet pesan teks yang berhasil membuat Jece menginjakkan kakinya di club malam selama dua puluh satu tahun hidupnya; itupun berbekal rekomendasi dari Seno yang katanya sudah datang duluan.

Tanpa ragu kakinya melangkah masuk setelah memperhatikan tulisan Esky menyala terang oleh lampu neon di sana.

Dari luar terlihat biasa saja; dinding kaca  dengan lampu terang, lalu beberapa orang terlihat mengobrol dan berbincang seperti di cafe pada umumnya. Jece sedikit bingung, agaknya ...  dari mana dia harus memulai rencananya untuk menggagalkan pemeriksaan setidaknya sampai besok.

Dia melangkah pelan sampai bunyi notifikasi hadphone masuk ke dalam rungunya. 

Ternyata pesan dari Seno.

Langsung naik ke lantai dua, terus masuk dari pintu dekat tangga.

Begitu katanya, lantas Jece Naik tanpa memperdulikan tatapan orang-orang di sekitar yang mungkin agak heran kenapa ada orang dengan tas ransel masuk ke tempat seperti itu. Masa bodo, tidak mungkin dia meninggalkan ransel herisi laptop di kampus.

Setidaknya itu yang dia pikirkan sebelum dua orang bertubuh tetap menghadangnya di pintu.
"Bisa liat Kartu Identitasnya?" tanya salah satu dari mereka.

Oh, sepertinya petugas keamanan. Tanpa banyak bertanya lagi, Jece segera menyerahkan Kartu identitasnya dengan senang hati, sembari mengangguk kecil ketika merasa di sinilah statusnya sebagai seorang yang legal dapat digunakan.

"Oke. Barang bisa disimpan di loker sebelah kanan sebelum pintu masuk, and enjoy the night"

"Thank you." Balas Jece, lalu bergegas  masuk dan menyimpan barang-barangnya termasuk jaket tebal yang dia kenakan.

Yeah, Enjoy the night; they said.

"Persetan."
Desis Jece ketika merasa begitu menyedihkan, tiba-tiba saja dia sadar kalau semua orang datang untuk bersenang-senang; sementara dirinya datang untuk meracuni tubuhnya sendiri demi melindungi sesuatu dalam tubuhnya.

Dari kejauhan dia bisa melihat Seno berada di meja bar, di depannya ada beberapa minuman dengan berbagai warna dan ukuran gelas.

Semakin mendekat semakin terdengar jelas celoteh Seno yang menyakan bahan-bahan dari minumannya dan cara pembuatannya.

Ah, dia sedang 'kuliah umum' ternyata.

Kapanpun dan dimanapun, mungkin isi otak Seno hanya dipenuhi dengan 'bagai mana caranya aku menghasilkan uang.'

Tanpa sadar Jece tersenyum kecil, dalam benaknya dia penasaran; apa rasanya memiliki sesuatu yang kita sukai sampai sebegitunya, selalu dipikirkan, selalu membuat kita menggebu-gebu hanya dengan membayangkan kita memilikinya.

Seperti kesukaan Seno terhadap uang.

"Ngapain?" Tanya Jece ketika sudah duduk di debelah Seno.

"Belajar. Who knows suatu hari gue bisa buat club malam sendiri, atau minimal gue tau cara ngeracik minumannya-"

Jece tak menimpali ketika Seno mengacungkan telunjuknya ke atas dengan antusias, tanpa diperjelas; Jece tau kalau anak itu sedang membayangkan sesuatu.

"-apa gue buat Fruit Punch aja ya buat ujian praktik nanti?" Lanjut Seno tak lupa diakhiri dengan tawa konyol.

Jece pun ikut terkekeh, lalu mengusap wajahnya dengan kasar.
"Jadi, gue harus minum yang mana dulu?"

Tak ayal, pertanyaan dari mulutnya itu spontan mengundang decakan dari Seno.
"Wah, enggak sabaran ternyata. Okelah, lo merayakan usia legal dengan orang yang tepat-"

Valley of LiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang