"Jece!"
Mendengar namanya dipanggil, Jece lantas berbalik dan mendapati Sarga berlari kecil menghampiri.
"Mau ikut nongkrong gak? Sekalian gue mau tanya tugas." katanya setelah berjalan di samping Jece.
Yang ditanya merapikan tas di bahu, lalu mengangguk tanpa beban. Kepalanya juga mau meledak terus mengerjakan tugas di kamar, mungkin dengan bepergian ke luar akan membuat suasana lebih menyenangkan.
"Boleh, mau langsung pergi?"
Gantian Sarga yang mengangguk, "Iya langsung aja, sama Hiro juga."
"Jayden?"
Sarga tampak berpikir sebentar,
"Jayden nggak balas pesan gue, 'sih. Tapi coba aja lo yang ngehubungin." Katanya kemudian.Jece hendak meraih hp-nya di saku, namun tersadar kemudian kalau dia tidak punya kontak Jayden. Jadi dia hanya menggeleng pelan; sedikit merutuki kekonyolan diri sendiri. Bagaimana bisa dia tidak punya kontak Jayden, bahkan kontak orang-orang di rumahnya saja dia tidak punya!
"Kita duluan aja kayaknya."
Sarga mengangguk setuju, lalu mereka berjalan menuju kelas Hiro di seberang koridor.
Setelah sampai, ternyata Hiro sudah menunggu. Sepetinya sudah dihubungi Sarga.
"What's up!"
Sapa Hiro ketika melihat Sarga dan Jece berdiri tak jauh darinya.Lalu Sarga balas mengangkat tangannya, dan Jaece pun reflek tersenyum kecil. Setelah itu mereka benar-benar keluar dari area kampus menuju study cafe.
Mereka bertiga mungkin hanya akan belajar dalam hening sampai sore, setidaknya itu yang Jece pikirkan. Mamun kenyataannya, Sarga dan Hiro bertemu teman-temen mereka dari fakultas lain di sana; mengobrol, banyak becanda dan mengabaikan saja tugas-tugas mereka setelah merasakan kesulitan.
Hal baru bagi Jece, karena sebelumnya dia sangat jauh dari kehidupan sosial selain terpaksa karena urusan sekolah. Masa sekolah menengahnya pun tak jauh berbeda, karena semua orang hanya fokus belajar. Jadi, dia hanya punya beberapa teman dari kelompok diskusi yang dibetuk atau dari anggota kelas biola.
"Hai, lo dari jurusan apa?"
Jece hapir larut dalam lamunanya ketika orang asing di depannya bersuara. Jece lupa namanya, padahal mereka sudah berjabat tangan tadi.
"Arsi, sama kayak Sarga."
"Wow! Jago gambar dong?" katanya kelewat antusias; seolah-olah jago gambar itu sesuatu yang luarbiasa.
Jece mengusap tengkuknya canggung, lalu tersenyum kecil.
"Kayaknya karena tuntutan, 'sih."Lawan bicaranya ini menggeleng ribut, "Tetap aja lo jago." katanya.
Namun, dia belum selesai bicara karena Jece melihat orang di depannya ini kembali membuka mulut, "Gue suka banget baca komik! Sering coba-coba gambar juga. Tapi kayaknya emang ga ada bakat deh, gambar manusia lidi aja gak becus."
Katanya, lalu dia tertawa konyol.Jadinya Jece juga ikut terkekeh; terbawa atmosfir menyenangkan yang orang di depannya ini ciptakan, dia jadi tak meresa begitu asing ketika Sarga dan Hiro asik bicara dengan teman-teman mereka yang lain.
"Oh iya! Gue Seno, anak culinary; which is bukan dari kampus lo. Ke sini ikut sepupu buat nongkrong."
katanya panjang lebar, tak lupa menunjuk Haidar yang dia tunjuk sebagai sepupu.Dia hampir saja bilang alamatnya, nonor rumahnya, sisilah keluarga dan too much information lainnya.
'Untung nih mulut masih punya rem' rutuk Seno dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Valley of Lies
Fiksi PenggemarSetelah ibunya meninggal, Jece tak punya pilihan selain bertahan dan mengorbankan segala miliknya. ©HimawariNa | Valley of Lies 2023