"Hati-hati, Dis! Bisa, nggak? Mau gue bantu?"
"Nggak usah, makasih. Gue bisa sendiri."
Sudah kuduga, gue nggak suka acara outbond ini. Sekarang kelompokku sedang menyeberangi sungai. Arusnya nggak begitu deras, dan it's okay meskipun bagian bawah celana trainingku basah. Masalahnya, lapisan semen yang berada di dasar sungai licin ditumbuhi lumut."Astaghfirullah!" Gue menjerit panik.
Padahal langkahku sudah hati-hati, nyaris menyamai kecepatan siput malah! Tetap saja kakiku tergelincir. Jantung gue berdetak gila-gilaan. Sesaat kukira akan hanyut terbawa air terjun yang jaraknya nggak sampai dua meter dari tempatku menyeberang. Syukurlah Dimas dengan sigap menangkap lengan kananku.
"Thanks, ya, Dim." ucapku, begitu kami mencapai tepian sungai.
"Sama-sama." jawabnya. "Kalau nggak sanggup, jangan ragu untuk minta bantuan, Dis." imbuhnya, membuatku merasa bersalah.
"Sok mesra. Menyeberang sungai doang pakai gandengan segala." komentar Boy, yang muncul bersama Saskia.
"Pingin gandengan juga, ya, Boy?" sahut Dimas sambil tersenyum geli.
"Oh, shut up!" jawab Boy, sembari mengenakan kembali sepatunya.
"Ya kali Saskia mau digandeng sama lo. Mesti cuci tangan tujuh kali, yang satu kali pakai tanah." Gue menyahut, kesal mendengar sindirannya.
"Emangnya gue najis, apa?" tukas Boy. "Lagian siapa juga yang mau gandeng Saskia?"
"Sombong amat, sih, jadi orang?" sahutku, makin kesal. "Yang ada juga Saskia-nya yang ogah sama lo!"
"Yee... gue juga ogah kali." sahutnya.
Gue mendelik. Makhluk satu ini sungguh mengesalkan!
"Bilang ogah, tapi nyindir-nyindir gue sama Dimas. Dasar sirik!" cibirku.
"Gue nggak sirik! Emang lo aja yang sok mesra." balasnya, tak mau kalah.
"Udah, udah." Dimas berusaha melerai.
"Shut up, Dim!" kata Boy.
"Elo yang diam!" Gue menyahut cepat. "Kebanyakan komen yang nggak perlu."
"Gue ngomong berdasarkan fakta." balasnya, merasa benar.
"Faktanya, Dimas nolongin gue yang nyaris keseret arus gara-gara terpeleset lumut." balasku.
Boy nampak terkejut. "Lo--terpeleset?"
"Iya. Senang, ya, lihat gue hanyut di sungai, daripada ditolong Dimas?" tuduhku.
Boy nggak menjawab. Gue pun menoleh ke sekitar, baru menyadari bahwa Dimas dan teman-teman sekelompok lainnya sudah pergi.
"Tuh kan, gara-gara komentar lo yang nggak penting, kita jadi ditinggal sama yang lain!" protesku, makin kesal.
Boy turut mengamati sekitar, tampaknya dia pun baru menyadari fakta tersebut. "Kok gue? Kalau bukan gara-gara lo yang sok mesra gandengan sama Dimas, nggak bakal gue komentar."
"Sudah gue bilang, itu kecelakaan."
"Ya, nggak usah gandeng tangan Dimas juga kali."
"Terus? Gandeng tangan lo?"
"Bagus, akhirnya lo sadar. Siapa suruh minta tukar pasangan, terpeleset kan jadinya?"
"Jadi, menurut lo, gue terpeleset gara-gara minta tukar pasangan, gitu?"
"Jelas!"
Gue mendelik. "Jelas otak lo nggak beres kayaknya."
"Apa lo bilang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Boy
Novela JuvenilNamanya Boy. Bukan playboy, he just a famous boy. Sebagai pemilik gelar most wanted Pelita, seharusnya ia berhasil memikat siapa saja. Nyatanya tidak begitu. Ada seorang Gadis yang justru marah-marah, jutek, judes--setiap kali ia mendekatinya. Gadis...