4. Saving breath for living

383 72 33
                                    

JOTTUN sampai harus dipanggil tiga kali oleh Renjun agar meletakkan perhatiannya pada sang kapten. Pria yang mengaku sebagai ayah angkat Jeremy itu sibuk melamun membayangkan bagaimana pertemuannya dengan Timutta dahulu.

"Ya?" tanyanya masih dengan senyum mengembang di wajah rupawan miliknya.

"Aku sudah memanggil anda berkali-kali tapi sepertinya melamun lebih seru ya," cibir Renjun yang memang tidak segan pada siapapun itu.

"Tentu saja, kalau kau tau apa saja yang bisa Mama Jeremy lakukan, mungkin melamun akan menjadi aktivitasmu setiap harinya nanti." Jottun bukannya merasa tercibir, malah semakin tersenyum lebar membayangkan pasangan hidupnya itu.

Renjun dibuat penasaran. Untuk kemampuan Jeremy yang menurutnya masih anak-anak saja sudah membuatnya terkesima, bagaimana dengan mama orang itu nantinya?

"Apakah anda bisa memberi tahuku spesies apa Jeremy dan ibunya itu? Karena dilihat dari apa yang bisa dilakukannya, aku yakin mereka bukan spesies kita. Apalagi Jeremy bilang bahwa dia keluar dari telur."

Sedikit tarikan bibir terlihat kentara dari wajah Renjun, teringat bagaimana lucunya Jeremy namun di saat yang sama juga menyebalkan itu. Namun ketika bayangan kekasihnya terlintas sekelebat di benak, wajah Renjun yang tersenyum berubah jadi masam.

"Aku pun tidak tahu. Mereka saja tidak tau." Jottun menjawab sambil tertawa ala bapak-bapaknya itu.

"Sudah kuduga." Helaan nafas panjang dihembuskan Renjun dari hidungnya. Seketika dia terbatuk karena kemurnian oksigen disana. Organ dalamnya belum terbiasa.

"Wah, sudah mulai ya? Aku juga sempat mengalaminya. Terlalu banyak menghirup oksigen disini akan membuat tubuhmu meledak." Jottun menasehati rekan baru yang langsung ia anggap sebagai juniornya itu.

Perasaan nostalgia memenuhi rongga dadanya. Sudah lama sekali ia tidak memiliki teman berdiskusi yang paham akan semua ucapan dan topik yang dia gemari. Timutta pasangannya dan Jeremy sang anak tiri bukan pilihan terbaik untuk diajak berdiskusi.

Renjun tertawa di sela batuknya. "Rasanya seperti mengaca pada diri sendiri. Aku sering mengatakan hal seperti itu pada para anak buahku jika kami mendarat di planet untuk menyelesaikan misi."

"Menyenangkan pasti rasanya memiliki anak buah. Aku sendiri sudah lupa bagaimana perasaan seperti itu saking lamanya aku ada disini." Jottun tersenyum pada Renjun.

Tapi dalam senyumannya itu tersirat sebuah kesedihan yang kental akan rindu dan kesepian.

Akhirnya batuk-batuk Renjun mereda juga meski ia tetap merasa khawatir akan kondisi tubuhnya. Sang kapten tidak bisa mengukur seberapa banyak kandungan oksigen di planet ini. Semua alat dan kebutuhan yang diperlukannya meledak bersamaan dengan pesawat yang ia bawa kesini.

"Yah begitulah, meski mereka merepotkan dan bodoh, aku tetap mengandalkan mereka." Renjun tersenyum tipis membayangkan bagaimana keadaan para kru di planet tempat asalnya sana.

Namun tiba-tiba saja ia terbatuk lagi sampai kali ini harus membungkuk dan memegangi dadanya.

"Mungkin hanya masalah waktu saja sampai tubuhmu kejang-kejang, matamu buta, lalu paru-parumu meledak." Jottun memperingatkan.

"Jangan menakut-nakutiku. Memangnya berapa persen kandungan oksigen disini?"

"33%. Kaum mu sudah berevolusi kan? Paru-parumu tidak didesain untuk tinggal di planet ini."

Renjun semakin batuk tak tertahankan. "Kadar oksigen di atmosfer planetku hanya 12%." Ia batuk semakin keras. "Oh bagus sekali, aku akan mati disini."

"Tidak akan Renjun. Kau mau aku membantumu berumur lebih lama?" Jottun menawarkan bantuannya.

Skaargia ✦ JaemrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang