||Curhatan Melvin

10 2 0
                                    

Bogor, 16 Februari 2016


Dear My Friend! Boo ...

Astaga, sudah hampir setengah isi buku saja aku menggores tubuhmu dengan tinta, Boo.

Pegal rasanya tanganku tapi masih banyak kisah yang belum kubagi denganmu dan aku ingin menyelesaikannya malam ini karena aku tahu besok sudah pasti akan ada cerita baru yang kualami.

Daripada aku menumpuknya di atas kisah yang kualami hari ini atau mungkin aku akan lupa untuk menulisnya. Bukankah lebih baik jika kisah hari ini kuselesaikan sekarang?

Dan aku mau menceritakan padamu, bagaimana bodohnya aku yang tak menyadari kehadirannya saat aku menulis tentangnya di atas lembaran putih tubuhmu.

Iya dia, si rese Melvin.

Dia berhasil menemukanku.

Aku tidak tahu bagaimana caranya dia bisa menemukanku tapi yang terpenting adalah ... dia mengklarifikasi tentang dirinya sendiri padahal aku tak memintanya.

Kamu tahu dia bilang apa, Boo?

Dia bilang, "Oka, aku tak seperti Selly."

Sontak saja aku yang terkejut langsung menutup apa yang belum selesai kuceritakan padamu. Maaf, pasti itu sakit ya, Boo. Tapi mau bagaimana lagi, salahkan saja Melvin yang muncul tiba tiba seperti setan.

Aku menatap Melvin sengit. Aku memandangnya begitu bukan karena marah sebab dia sepupunya Selly tetapi karena dia mengganggu waktuku bersamamu, Boo ditambah aku juga takut, takut kalo dia akan marah saat tahu aku selalu membahas tentangnya denganmu tanpa sepengetahuannya juga izinnya.

"Maaf, aku nggak bermaksud mengganggumu tapi percayalah, Oka. Aku bukan pembully seperti Selly."

Lagi, dia berucap bahwa dia dan Selly tidak memiliki kepribadian buruk yang sama. Aku mendengus mendengarnya, kusobek kertas dan kutulis ....

"Mengapa aku harus percaya?"

Dan jawabannya membuatku terheran. Bukannya mengapa, aku dan Melvin tidak memiliki hubungan pertemanan yang baik, Boo. Aku berkomunikasi dengan Melvin pun jarang, sekalipun komunikasi selalu saja ribut. Jadi mengapa ia merasa begitu?

"Karena aku takut kehilanganmu, Oka."

Ya, itulah jawabannya. Jawaban yang membuat perasaanku menghangat sekaligus gelisah, mungkinkah Melvin menyukaiku?

Aku menulis lagi di sobekan kertas. "Kenapa kamu takut?"

"Aku-aku tidak ingin hal itu terjadi juga padamu."

"Hal itu apa?" tanyaku dengan gerakan tangan. Fiks aku yakin dia mengatakan itu bukan karena menyukaiku tapi ada seseorang dimasa lalunya yang masih membayanginya. Apa ... Melvin punya traumatis?

Melvin menatapku sekali lagi kemudian menghela napasnya baru kemudian ikut duduk di sebelahku. Arah mata Melvin memandang ke atas langit yang cerah. "Dulu, aku pernah punya teman. Dia mirip denganmu, Oka."

Melvin beralih menatapku, bukan, bukan tatapan jahil seperti biasanya atau takut seperti tadi, itu tatapan sayang seperti saat ayah menatapku ketika kami berbicara, Boo. Dan keyakinanku benar, Melvin punya traumatis akan rasa takut kehilangan, ada orang dimasa lalunya yang mengalami hal menyakitkan.

Melvin tak lagi menatapku, dia kembali menatap langit dengan kedua tangan di atas rumput sebagai penyangga tubuh. Melvin memulai ceritanya dengan suara bergetar menahan tangis. "Tapi sayangnya, dia tidak seberani dirimu, Oka. Dia tak berani melawan tindakan kasar Selly bahkan dia tak pernah memberitahuku, siapa yang menyakitinya, dia selalu datang ke sekolah dengan luka baru ditubuhnya. Saat kutanya, dia selalu diam.

Dia-dia gadis yang manis dan baik sampai sampai aku tak rela jika dia pergi. Aku merasa bersalah saat tak bisa melindunginya. Dan saat aku menemukanmu di sini, untuk pertama kalinya. Aku seolah melihat dia di dirimu, Oka tapi sekarang aku sadar, kalian adalah orang yang berbeda sekalipun kalian sama sama suka menyendiri."

Aku menyodorkan tisu, menyuruh Melvin untuk mengelap air matanya. Baru kali ini, Boo aku melihat orang seceria dan sejahil Melvin menangis hanya karena seorang gadis. Gadis yang kurasa sangat berarti dalam hidup Melvin.

"Lalu, kemana dia?" tanyaku dengan bahasa isyarat.

Melvin yang baru selesai mengelap air matanya tersenyum menatapku lalu memandang kembali ke arah langit dengan jari telunjuk menunjuk pada segumpalan awan. "Di sana, dia tersenyum dari balik awan itu."

Aku berhenti bernapas sebentar, sungguh aku terkejut. Jadi, gadis yang membuat Melvin menangis sudah meninggal? Bagaimana bisa?

"Apa ... dia meninggal karena Selly?" tanyaku pada secarik kertas baru.

Melvin menggelengkan kepalanya. "Bukan Selly ataupun ayahnya tapi aku, salahku karena tidak bisa menolongnya lebih cepat. Salahku karena membiarkannya memendam kesakitannya sendiri dan salahku-"

Kuletakkan jari telunjukku, sisa sejengkal dari bibir Melvin. Aku merangkai kalimat melalui gerakan tangan.

"Itu sudah jalan takdir dan jangan tangisi dia, Vin. Aku takut senyumnya akan pudar jika dia melihatmu menangis begini."

Melvin tersenyum. "Perasaanku benar. Kalian memang tidak sama."

Aku mengibaskan tanganku di samping kerudung yang kupakai seolah aku sedang mengibaskan rambut. Kugerakkan kembali tanganku, merangkai sebuah kalimat. "Iyalah, aku ya aku nggak bisa disamakan sama gadismu itu. Lagian sudah pasti lebih cantik aku daripada gadismu itu. Siapa namanya?"

Melvin terkekeh membaca gerakan tanganku lalu mencangkup tangannya di depan hidungku seolah sedang mencubit hidungku gemas. "Iya deh, si paling cantik. Zara, itu namanya."

Aku menatap Melvin dengan jantung berdebar. Kumohon, jangan bilang Zara, si gadis tunarungu yang sedang kucari.

"Zara siapa?"

"Zara Moranika. Kamu mengenalnya?"

Habis sudah pasokan udaraku, Boo. Iya, aku mengenalnya, Melvin, sangat mengenal baik. Dia memang gadis baik, sangking baiknya dia sampai menganggap setiap pukulan dari ayahnya yang diterima setiap hari sepulang ayahnya kerja adalah bentuk tegur atas kenakalan yang dia lakukan.

Apa ini semesta?! Mengapa harus berita kematiannya yang kudengar? Mengapa bukan kabar baik tentangnya?

Tanpa sadar air mataku menetes. Dulu, Zara pergi tanpa meninggalkan surat padaku dan sekarang ... dia pergi ke tempat yang tak pernah bisa kujangkau.

Zara, kuharap kamu bahagia di atas sana dan maaf, maafkan aku ... aku terlambat menemukanmu hingga kamu memendam semua kesakitanmu seorang diri sampai ajal menemuimu.

Sekarang, aku tak ada bedanya dengan Melvin, dipenuhi rasa bersalah pada satu orang yang sama, Zara.

Dear, My Friend!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang